AKU TELAH MENUNGGU CUKUP LAMA sampai akhirnya, kantuk menyerangku. Aku pun tertidur dan kembali terbangun dengan kepala masih menelungkup di meja pojok favoritku.
Masih sendirian. Masih dibebani rasa bersalah, marah, dan patah hati sekaligus. Aku bahkan tak dapat memutuskan harus menangis atau berteriak.
Kutegakkan dudukku sambil menarik napas panjang. Jam berapa ini? Kenapa Arka masih belum kembali dari rumah sakit? Apa kondisi Alisa sangat parah sampai dia tak bisa segera kembali ke sini?
Aku tak mungkin menunggui Ice Cream Corner semalam suntuk. Andai Arka tak terburu-buru pergi tanpa mengunci pintu tokonya, aku pasti telah pulang ke apartemen sejak tadi.
Tapi, perhatian teman favoritku itu terfokus hanya pada Alisa. Dia melupakan tokonya--melupakanku.
Aku tak ingin bertemu dengannya lagi malam ini. Tapi, aku juga tak ingin meninggalkan Ice Cream Corner tanpa memastikan pintunya terkunci dengan aman.
Tempat ini telah begitu lama menjadi rumah keduaku. Aku tak akan menelantarkannya seperti pemiliknya menelantarkanku.
Aku berdiri, meregangkan badanku yang terasa kaku. Mungkin sebaiknya kubuat secangkir kopi untuk mengusir kantuk. Aku pun berjalan hendak menuju dapur, tapi mendadak berhenti saat mataku menangkap sosok seorang lelaki tengah duduk di meja kasir.
Jantungku berdegup kencang. Aku tak dapat memastikan apakah jantungku berpacu karena takut dan terkejut mendapati seorang lelaki berada di Ice Cream Corner bersamaku tanpa kusadari kehadirannya atau karena bahagia mengetahui lelaki itu adalah Arka.
Mungkin kedua-duanya. Mungkin aku sudah gila. Dia telah membuatku patah hati, tapi hatiku masih menggeletar bahagia saat aku melihat wajahnya.
Arka duduk seperti patung--tak bergerak ataupun bersuara. Pantas aku tak segera menyadari kehadirannya. Apalagi toko hanya diterangi lampu kuning redup yang cahayanya tak dapat menjangkau seluruh ruangan.
Tiba-tiba patung Arka bergerak di kursinya. Dia berdiri, lalu berjalan dan berhenti tepat di hadapanku.
Aku membeku di bawah tatapannya, tapi mataku menjelajahi wajahnya dengan rakus. Tak ada emosi apapun terpancar dari wajahnya, kecuali lelah.
“Gimana Kak Alisa?” suaraku--meski nyaris berbisik--memecah keheningan.
“Sudah lebih baik.”
“Aku nggak bermaksud melempar kursi itu ke Kak Alisa. Aku nggak sengaja.”
“Aku tahu,” Arka berhenti sebentar, tampak mempertimbangkan perlu atau tidak mengatakan apa yang ingin dia katakan. Tapi, akhirnya, dia tetap menambahkan, “Alisa juga tahu kamu nggak sengaja.”
“Oh.”
Aku mengalihkan mataku ke jendela yang telah ditutupi tirai tipis. Mendadak kesedihan menyelimuti hatiku. Kami saling berhadapan, tapi aku merasa seolah Arka berdiri sangat jauh dariku.
Tak kusangka hubungan kami akan berakhir dengan cara seperti ini--kembali menjadi orang yang asing satu sama lain seperti waktu pertama kali kami bertemu.
“Maaf, aku membentak kamu tadi.”
Aku tersenyum kecut mendengar permintaan maafnya. “Dari sekian banyak sikap kamu yang bikin aku sakit hati, kamu cuma minta maaf untuk yang satu itu?”
“Kamu mau aku minta maaf untuk apa?”
“Apa, ya? Gimana kalau minta maaf untuk janji yang kamu langgar? Atau, untuk semua hal yang kamu rahasiakan dariku?” Atau, lanjutku dalam hati, untuk hatiku yang sekarang patah gara-gara kamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menara Awan - COMPLETED
RomanceKehilangan Ayah dan Ibu membuat Bianca sangat benci ditinggalkan. Satu-satunya cara agar tak ditinggalkan adalah dengan tak pernah membiarkan siapapun berada di dekatnya... ...kecuali Arka, teman favoritnya. Hingga suatu hari, hal yang paling dia ta...