"BIANCA?"
Aku menoleh. Seorang wanita paruh baya berdiri tak jauh dari mobilku. Dengan balutan sweater krem dan rambut kelabu yang digelung rapi di atas tengkuknya, Bu Candra tersenyum ramah padaku.
"Ibu, selamat pagi!" sapaku penuh semangat. Aku baru sampai di Panti Mentari.
Beberapa minggu terakhir, aku sering berkunjung ke sini. Awalnya terasa canggung, tapi perlahan aku mulai nyaman berada di sini.
Senang rasanya mengetahui aku punya pilihan selain menghabiskan waktu duduk sendiri di apartemen atau bertemu Alisa di Ice Cream Corner. Arka telah kembali sibuk dan Nata tak pernah menghubungiku. Entah apa yang terjadi, tapi aku belum pernah bertemu Nata lagi sejak pertama kali dia mengajakku ke sini beberapa minggu yang lalu.
"Ibu kira kamu nggak akan datang hari ini. Memang hari ini ada jadwal tutor anak-anak?" tanyanya.
Aku memang menunjuk diriku sendiri sebagai tutor anak-anak Mentari. Melihat Bu Candra kerepotan membagi waktu antara mengurus para balita dan membimbing anak-anak yang lebih besar untuk belajar, aku tergerak untuk membantu. Lagipula, aku tak enak jika hanya bermain atau mengobrol tak tentu arah tiap kali ke sini.
"Nggak ada, sih, Bu. Bian ke sini cuma mau main," aku tersenyum malu, "Nggak apa-apa, kan, Bu? Bian nggak ganggu, kan?"
"Sebaliknya, Ibu justru merasa terbantu. Ibu titip jaga anak-anak, ya, hari ini. Ada Bi Neneng juga di dalam."
Bi Neneng asisten rumah tangga di Mentari.
"Lho, Ibu mau pergi?" Baru kusadari Bu Candra telah berpakaian rapi.
"Iya. Ibu mau pergi sama Nata. Ini, Ibu lagi tunggu dia jemput."
Nata? Setahuku, dia hanya datang ke Mentari pada hari Minggu atau hari libur kantornya. Berbeda denganku. Aku justru berkunjung hampir tiap hari, kecuali akhir pekan. Aku selalu menemani Arka di Ice Cream Corner saat akhir pekan. Sengaja kuatur begitu, karena hanya pada hari itulah Alisa tak ada di sana untuk menggangguku.
"Ibu mau pergi ke mana?"
"Ke rumah sakit."
"Ibu sakit?" tanyaku cemas.
"Nggak. Ibu nggak apa-apa," dia tersenyum menenangkanku, "Ibu cuma ada perlu ke sana."
Aku menghembuskan napas lega. Aku selalu waswas tiap kali mendengar segala hal yang berkaitan dengan 'rumah sakit'. Aku bahkan tak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah sakit setelah menunggui Ibu di IGD malam itu.
Suara kerikil yang tergilas ban membuat kami menoleh. Nata memarkir mobilnya di samping mobilku, lalu turun dan menghampiri kami. Dia tersenyum melihatku berdiri di samping Bu Candra, tapi tidak tampak terkejut.
"Aku dapat laporan kalau kamu sering datang ke sini buat ganggu anak-anak. Ternyata benar, ya?" ujarnya.
"Memang kamu nggak dapat laporan kalau aku nggak cuma ganggu, tapi juga bantu anak-anak belajar?" aku langsung sewot.
Nata dan Bu Candra kompak menertawakanku.
"Sudah siap, Bu? Mau berangkat sekarang?" tanya Nata setelah tawanya habis. Bu Candra mengangguk. Nata kembali menatapku, "Aku pergi dulu, ya. Awas, lho, kalau kamu ganggu anak-anak!"
"Nata," ibu anak-anak Mentari menegur Nata sambil menjawil telinganya seolah temanku itu masih berusia lima tahun dan bukan dua puluh lima. Seulas senyum menghias wajahnya, "Ibu berangkat, ya, Bianca. Titip anak-anak," pamitnya padaku.
Nata berjalan sambil merangkul bahu Bu Candra, lalu membantunya naik ke dalam mobil. Aku tersenyum. Cukup sering aku mendengar cerita tentang kedekatan Nata dengan Bu Candra, tapi baru kali ini menyaksikan sendiri keakraban mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menara Awan - COMPLETED
RomantikKehilangan Ayah dan Ibu membuat Bianca sangat benci ditinggalkan. Satu-satunya cara agar tak ditinggalkan adalah dengan tak pernah membiarkan siapapun berada di dekatnya... ...kecuali Arka, teman favoritnya. Hingga suatu hari, hal yang paling dia ta...