"KAMU CAPEK? PEGAL BANGET, YA?" Nata bertanya untuk kesekian kalinya. Aku hanya meringis. Melihatku sibuk memijat betisku sendiri, masih perlukah dia bertanya?
Aku baru tahu, ternyata mengelilingi Botani Square dan menjajal toko-tokonya satu per satu bisa sangat, sangat, sangat melelahkan. Belum lagi ditambah dengan kantong-kantong belanja yang kutenteng di kedua tanganku. Rasanya seolah buku-buku jariku akan putus karena terlalu lama menjinjing kantong-kantong itu.
Hari ini, Nata memintaku menemaninya membeli hadiah untuk anak-anak Mentari. Aku menerima ajakannya dengan senang hati. Tapi, tak kusangka membeli hadiah bukan hanya menguras dompet, melainkan juga tenaga. Nata sangat pemilih. Memilih hadiah untuk satu orang saja bisa membuat kami keluar-masuk beberapa toko.
"Lho? Kamu mau apa?"
Aku terkejut karena Nata tiba-tiba berlutut dan mengambil kakiku--meluruskan kakiku di atas pahanya. Gelas plastik berisi jus miliknya dibiarkan tergeletak di bangku panjang tempat kami beristirahat setelah selesai berbelanja.
Kutarik kakiku saat tangan Nata mulai memijat betisku. Tapi, sebelah tangannya menahan lututku agar aku tak dapat bergerak. Wajah dan tengkukku mulai terasa panas--malu karena orang-orang mulai menoleh dan memandangi kami.
"Dilihat orang-orang," bisikku, "Aku malu."
Nata mengangkat wajahnya untuk menatapku. "Kenapa harus malu? Memang salah kalau aku pijat kaki kamu?" tanyanya.
"Nggak salah, cuma..."
"Kaki kamu pegal, kan? Makanya, aku pijat. Atau, kamu mau aku gendong sampai ke tempat parkir?"
Dia berlagak seolah hendak berdiri dan langsung menggendongku. Aku menggeleng kuat-kuat. Ngeri membayangkan jika Nata benar-benar melakukan niatnya. Pasti akan sangat menarik perhatian dan lebih memalukan daripada sekadar dipijat.
"Kalau begitu, berhenti gerak-gerak! Biar aku gampang pijatnya."
Seketika aku berhenti berusaha membebaskan kakiku. Caranya bicara membuatku terkejut--tegas dan tanpa kompromi. Baru kali ini aku melihat sisi tegas dalam diri Nata. Biasanya, dia selalu bersikap santai dan banyak tersenyum.
"Aku nggak apa-apa, kok. Cuma pegal," kataku pelan.
"Aku tahu. Aku cuma nggak bisa membiarkan kamu sakit. Jangankan pegal, tertusuk jarum pun nggak akan kubiarkan."
Kupandangi wajahnya yang sekarang setengah menunduk. Seperti itukah rasanya menyayangi seseorang? Tak ingin melihat orang yang disayangi kesakitan--bahkan ikut merasakan sakit yang mereka rasakan--dan tak ingin memaksa orang yang disayangi melakukan hal-hal yang tak mereka inginkan.
"Nata?" suara seorang perempuan membuat Nata menoleh.
Refleks kutarik kakiku dan kali ini, Nata membiarkanku melakukannya. Dia sendiri langsung berdiri--tampak terkejut melihat siapapun yang telah memanggil namanya.
"Nata, kan?" perempuan itu terdengar mendekati kami.
Aku pun ikut berdiri dan menoleh dan...ternganga.
"Lho? Kak Alisa?" Nata maju selangkah.
"Iya. Ya ampun, kamu beda banget sekarang. Sampai pangling," Alisa menepuk akrab lengan Nata.
Mulutku semakin membuka lebar.
"Kakak juga beda banget. Kalau nggak lihat dari dekat, aku pasti nggak bakal kenal sama Kakak."
Alisa tertawa, "Iya. Terakhir kita ketemu--kapan, ya? Waktu kamu masih SD, kali, ya?" dia terlihat sangat gembira bertemu dengan Nata, "Apa kabar? Sudah kerja sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Menara Awan - COMPLETED
RomanceKehilangan Ayah dan Ibu membuat Bianca sangat benci ditinggalkan. Satu-satunya cara agar tak ditinggalkan adalah dengan tak pernah membiarkan siapapun berada di dekatnya... ...kecuali Arka, teman favoritnya. Hingga suatu hari, hal yang paling dia ta...