AKU MENGHEMPASKAN SETUMPUK BERKAS yang baru saja kukeluarkan dari lemari arsip direktur panti ke lantai, lalu duduk bersila sambil menghembuskan napas kesal.
Mudah sekali bertekad meminta Arka bicara. Tapi tiap kali aku berniat meneleponnya, keringat dingin langsung membasahi telapak tanganku. Jantungku berdebar dan perutku tegang--sangat tegang sampai aku kesulitan untuk bernapas.
Aku hanya harus menekan tombol ‘call’ dan telah ribuan kali menekan tombol itu untuk menelepon Arka selama tiga belas tahun terakhir. Jika sebelumnya mudah, kenapa kali ini harus terasa sulit?
Apakah karena aku menyadari orang yang hendak kutelepon bukan sekadar teman favorit, melainkan lelaki yang kucintai? Hanya karena itu?
Aku mendengus. Benar-benar tak masuk akal!
“Kenapa, Bianca? Capek?” suara Bu Candra membuat kepalaku terangkat. Aku melupakan kehadiran direktur panti itu karena terlalu sibuk memikirkan Arka.
“Nggak, kok, Bu.”
Bu Candra tersenyum mendengar jawabanku. Keriput di pipinya semakin dalam saat dia tersenyum. Dia kembali menekuni berkas yang berserakan di meja kerjanya. Aku pun kembali pada pekerjaanku merapikan berkas yang memenuhi lemari arsip miliknya.
Hari ini adalah hari kerja bakti Panti Mentari. Seperti biasa, aku dan Nata sengaja datang ke sini untuk ikut kerja bakti. Tapi, tak seperti biasa, aku sengaja mengajukan diri untuk merapikan ruang kantor bersama Bu Candra, bukan mencabuti rumput bersama Nata dan Inda.
Aku belum mengatakan apapun pada mereka mengenai perasaan yang baru kusadari keberadaannya di hatiku. Aku tak tahu kapan dan bagaimana harus mengatakannya. Aku bahkan tak yakin jika mengatakan yang sebenarnya pada Nata dan Inda adalah langkah terbaik yang dapat kulakukan.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu--berharap beban pikiranku ikut melompat keluar--menghembuskannya sekaligus melalui mulut.
“Kalau capek, istirahat dulu saja,” Bu Candra kembali bersuara. Mungkin karena dia mendengarku berkali-kali membuang napas, “Nggak perlu buru-buru. Kalau nggak selesai hari ini juga nggak apa-apa.”
Aku tak merasa lelah, tapi tetap mengikuti sarannya untuk beristirahat. Aku berdiri sambil meregangkan kedua tanganku. Aku menghampiri meja Bu Candra, lalu duduk berhadapan dengannya. Bu Candra tersenyum kecil. Kacamata baca yang dia kenakan tampak melorot di hidungnya.
“Berkas-berkas di lemari sudah lama banget nggak dirapikan, ya, Bu?”
“Iya. Ibu kewalahan kalau harus merapikan berkas panti sendirian. Makanya Ibu senang banget kamu berinisiatif merapikan isi lemari hari ini,” jawab Bu Candra sambil tangannya tak berhenti membolak-balik kertas berkas di mejanya, menyortir kertas mana yang berisi data penting dan mana yang harus dibuang.
“Sendirian mengurus panti, repot banget, ya, Bu?”
Bu Candra mengangguk, tapi senyum kecil menghiasi bibirnya. Aku dapat menerjemahkan jawabannya itu dengan mudah. Artinya, sesulit dan serepot apapun, Bu Candra menikmati pekerjaannya dan mencintai panti ini--mencintai anak-anak yang tinggal di sini.
“Ini foto suami Ibu, ya?” aku mengambil figura dari atas meja. Bu Candra mengangkat wajahnya sekilas, lalu mengangguk.
“Saya belum pernah ketemu suami Ibu--atau anak-anak Ibu. Mereka nggak pernah protes kalau Ibu terlalu sibuk mengurus anak-anak panti?”
Bu Candra tiba-tiba menaruh kertas yang tengah dipegangnya, lalu menatapku.
“Anak-anak Ibu, ya, semua anak yang ada di panti ini. Nggak mungkin mereka protes kalau Ibu sibuk mengurus mereka,” dia bertutur lembut, “Suami Ibu juga pasti senang kalau Ibu mengurus anak-anak di sini dengan sepenuh hati. Karena panti ini, anak-anak--semua adalah warisan beliau untuk Ibu.”
Butuh waktu beberapa detik sebelum aku bisa memahami maksud perkataan Bu Candra dan, saat akhirnya mengerti, aku merasa sangat malu.
“Maaf, Bu. Saya nggak tahu kalau suami Ibu sudah meninggal. Saya juga nggak tahu kalau Ibu...” aku menggigit bibir, takut salah bicara.
“‘Kalau Ibu nggak punya anak’?” Bu Candra melanjutkan kalimatku sambil tersenyum lebar, “Ibu memang nggak punya anak kandung. Tapi, kalaupun punya, anak yang Ibu lahirkan mungkin nggak akan sebaik anak-anak yang ibu miliki sekarang.”
Aku ikut tersenyum, “Nggak akan seheboh dan serepot mengurus anak-anak di sini juga, Bu.”
Gurauanku membuat tawa renyah keluar dari mulut direktur panti itu.
“Tapi,” katanya, “Yang bikin repot bukan karena anak-anak di sini memang merepotkan, lho! Yang bikin repot justru karena Ibu sayang sama mereka dan ingin mereka bahagia. Nah, memastikan mereka semua merasa bahagia itu yang susah.”
Bu Candra benar. Membahagiakan orang lain bukan hal yang mudah.
“Bu,” panggilku pelan, “Gimana kalau kita menyayangi dua orang yang saat kita berusaha membahagiakan yang satu, yang lain bakal menderita?”
“Kenapa bisa seperti itu--yang satu menderita saat yang satunya lagi bahagia?”
“Karena mereka nggak akur satu sama lain, misalnya.”
“Sama sekali nggak bisa dibuat akur?”
“Mungkin bisa. Tapi, kalaupun mereka akur, tetap saja...” aku berhenti.
Bagaimana cara yang tepat membuat Bu Candra mengerti duduk perkara yang kualami tanpa mengungkapkan siapa orang yang terlibat dalam perkara itu?
“Begini deh, Bu. Orang yang satu minta sesuatu yang kalau kita kasih ke dia, kita bakal kehilangan orang yang satunya lagi. Padahal kita nggak mau kehilangan dua-duanya. Gimana, Bu?”
“‘Kita’ atau ‘saya’?” Bu Candra tersenyum menggodaku.
Malu-malu aku pun mengaku, “Saya.”
“Apa yang benar-benar kamu mau? Kamu mau membahagiakan mereka atau mau dua-duanya tetap ada di samping kamu?”
“Beda, ya, Bu?”
“Beda,” tegasnya, “Kalau kamu mau membahagiakan, solusinya, ya, melakukan hal-hal yang membuat mereka bahagia. Tapi, kalau terlalu sulit untuk bikin mereka berdua sama-sama bahagia, kamu harus bisa bersikap adil. Kamu bisa jujur tentang ketidakmampuan kamu dan membiarkan mereka mencari kebahagiaan mereka sendiri.”
“Tapi, itu bisa bikin saya kehilangan mereka.”
“Itu yang Ibu maksud tadi,” Bu Candra melepas kacamata, lalu memijat batang hidungnya, “Masalahnya jadi rumit karena kamu nggak mau kehilangan mereka. Satu-satunya cara, ya, kamu harus bisa bikin mereka akur.”
“Kalau nggak bisa?”
“Kalau nggak bisa, berarti kamu harus pilih salah satu dari mereka.”
Bahuku langsung merosot lemas. Semua jawaban Bu Candra hanya penegasan dari jawaban yang telah kutemukan sendiri. Jawaban yang selama ini kuhindari dengan harapan masih ada jawaban lain untuk masalahku. Tapi, mungkin hanya itu satu-satunya jawaban yang tersedia untukku--memilih.
“Satu lagi, Bu. Gimana kalau orang yang kita sayangi ternyata nggak menyayangi kita?”
Sorot mata Bu Candra berubah lembut, “Apa itu bakal memengaruhi rasa sayang kamu ke dia?”
Kupikirkan pertanyaannya baik-baik, baru menjawab, “Nggak.”
Wanita setengah baya itu mengangguk setuju. “Perasaan kita adalah urusan kita, perasaan mereka adalah urusan mereka. Kita mungkin bisa mengatur perasaan kita sendiri, tapi bukan hak kita dan di luar kuasa kita untuk mengatur perasaan orang lain.”
Aku tersenyum kecil karena nasihat Bu Candra mengingatkanku pada Nata. Dia juga pernah mengatakan hal senada itu padaku, meski dengan cara yang jauh berbeda.
Sekarang aku tahu dari siapa Nata mengadaptasi kalimat itu dan kurasa, aku juga tahu apa yang telah diceritakan Nata sampai Bu Candra memberikan petuah itu padanya.
☀️
Next part Arka nongol... Plus Alisa.. siap-siap aja dibikin baper sama kesel sekaligus..
Love you all... terutama sama yg setia vote dan komen.. thank you segunung buat kalian 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Menara Awan - COMPLETED
RomanceKehilangan Ayah dan Ibu membuat Bianca sangat benci ditinggalkan. Satu-satunya cara agar tak ditinggalkan adalah dengan tak pernah membiarkan siapapun berada di dekatnya... ...kecuali Arka, teman favoritnya. Hingga suatu hari, hal yang paling dia ta...