3 - Perubahan

227 13 0
                                        

TERBURU-BURU KUBAWA MOBILKU keluar dari area parkir kampus. Sudah lewat tengah hari, aku harus segera sampai di Ice Cream Corner.

Arka memintaku menggantikannya mengawasi toko karena dia harus pergi ke Jakarta hari ini--mengecek cabang toko es krimnya di sana. Hanya tiga hari, katanya kemarin, hanya selama akhir pekan.

"Maaf, maaf. Aku telat, ya, Mas Bagus? Dosennya lama. Arka sudah pergi?" tanyaku sambil menaruh tas di meja kasir.

"Sudah," jawab Bagus--teman kuliah Arka sekaligus pegawai di sini--dengan logat Jawa yang kental. Dia berdiri untuk mempersilakanku menggantikannya berjaga di meja kasir. Aku pun langsung duduk, "Tadi dia pergi buru-buru. Ada janji interview, katanya."

"Oh, ya? Interview siapa?"

"Calon manajer baru buat di Jakarta."

"Ooh... Mbak Senny jadi resign, ya?" Senny adalah manajer Ice Cream Corner cabang Jakarta. Dia akan menikah bulan depan.

"Iya. Kalau ndak salah, dia mau ikut suaminya pindah ke Kalimantan."

Aku mengangguk-angguk. Bagus pun pergi, menghilang ke balik pintu dapur.

Bagus adalah manajer dapur Ice Cream Corner sekaligus orang pertama yang direkrut Arka. Dulu, aku tak mengerti alasan Arka mempekerjakan Bagus. Pikirku, bagaimana mungkin orang yang sama sekali buta soal es krim dapat bekerja dengan baik di toko es krim?

Tapi, Arka bilang, dia menghargai kejujuran lebih daripada pengalaman atau kepandaian. Bagus adalah orang paling jujur yang pernah dikenalnya. Sehingga, menurut dia, rugi besar jika kami tidak merekrut Bagus.

Ucapan Arka ternyata benar. Bagus membuktikan dirinya layak dipekerjakan. 'Jujur' hanya satu dari sekian banyak kualitas yang dimiliki Bagus. 'Pekerja keras' dan 'mau belajar' adalah kualitas lain yang membuat kemampuan Bagus melesat dari tidak tahu apa-apa menjadi tahu segala tentang es krim.

Denting lonceng yang sengaja dipasang di atas pintu toko membuatku menoleh. Aku berdiri untuk menyambut pelanggan yang datang. Senyum bahkan sudah terbentuk di bibirku. Tapi, begitu melihat wajah orang yang memasuki pintu toko, aku urung memberi sapaan 'selamat datang'.

Dia adalah lelaki yang menabrakku di depan Ice Cream Corner pada hari ulang tahunku. Aku masih ingat wajahnya, karena dia memiliki senyum yang sama dengan Arka. Aku juga masih ingat betapa malunya saat aku tertangkap basah terpana melihat senyumnya.

Semoga dia tak ingat padaku, aku berdoa dalam hati. Semoga dia tak ingat padaku. Semoga dia tak--

"Kita ketemu lagi," lelaki itu berkata mantap tepat di hadapanku.

Bahuku langsung merosot, tapi aku tetap mengangguk sopan, "Selamat datang di Ice Cream Corner. Mau pesan apa?"

"Kamu kerja di sini?"

"Eh? Oh, nggak. Saya cuma dimintai tolong jaga di sini selama owner-nya pergi. Mau pesan apa? Kami punya menu baru. Es kr--"

"Owner-nya ke mana?" potongnya.

Kesal karena pertanyaanku terus diabaikan, aku menjawab, "Ke luar kota," dengan ketus.

Lelaki itu langsung terdiam. Aku menggigit bibir. Apa caraku bicara membuatnya tersinggung?

Aku tak peduli jika dia tak suka padaku. Tapi, aku berhadapan dengannya sebagai kasir Ice Cream Corner sekarang-mewakili Arka. Bagaimana jika sikap ketusku membuatnya enggan datang lagi ke sini? Arka selalu bilang, kehilangan satu pelanggan berarti kehilangan peluang bertambahnya seratus pelanggan baru.

Menara Awan - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang