24 - Kalah

97 8 0
                                    

Happy reading 😉

☀️

KUPANDANGI ICE CREAM CORNER dari bangku halte tempatku duduk. Sesuai namanya, toko es krim milik teman favoritku itu terletak di ujung jalan--tepat di belokan. Satu sisi dinding menghadap ke halte ini dan satu sisi lain menghadap ke kedai mie yang biasa kudatangi bersama Nata. Sementara pintunya berada tepat di sudut pertemuan kedua dinding itu.

Lampu toko telah padam--tak ada siapapun di sana. Tapi mataku seolah dapat melihat Arka tengah membersihkan dinding kaca dengan kain lap di tangannya. Bukan Arka yang tak mengacuhkanku siang tadi, melainkan Arka berambut ikal sebahu. Arka berusia dua puluh dua tahun yang kukira hanya pegawai karena tampak terlalu muda untuk jadi pemilik toko. Arka yang tersenyum memamerkan keriput kumis kucingnya sambil menghadiahiku segelas es krim.

Es krim yang dia berikan pada ulang tahunku yang ke sembilan adalah hadiah sungguhan pertama yang pernah kuterima. Karena orangtuaku tak merayakan ulang tahun dengan pesta, kue, lilin, ataupun segunung kado. Mereka hanya akan memberiku satu tanggung jawab dan mengabulkan satu permintaan sebagai hadiah ulang tahunku.

Pagi itu, aku pun menerima tanggung jawab baru: naik bus ke sekolah--tak lagi diantar Ayah. Pagi itu juga, aku meminta Ibu berhenti menghias rambutku dengan puluhan aksesoris yang dia beli. Meski keberatan, Ibu setuju--harus! Karena begitulah perjanjian yang telah sama-sama kami sepakati. Satu permintaan untuk satu tanggung jawab.

Aku masih ingat, langit dipenuhi awan kelabu pagi itu--sisa hujan deras malam sebelumnya. Sewajarnya, tak ada orang yang ingin makan es krim saat udara terasa dingin menggigit. Tapi, begitu kulihat toko es krim di seberang halte, kakiku langsung bergerak menyeberangi jalan dan menghampiri lelaki yang tampak sibuk mengelap dinding kaca.

Lelaki itu menolakku. Dia bilang, tokonya baru akan buka beberapa jam lagi. Lalu, aku menggerutu, "Padahal sekarang, aku ulang tahun", dan kembali ke halte dengan kecewa. Tapi tepat saat bus jemputan sekolahku sampai di perempatan jalan, lelaki itu mendatangiku, menepuk bahuku dari belakang dan membuatku nyaris melompat karena kaget. Lelaki itu adalah Arka. Di tangannya, dia memegang gelas plastik berisi es krim.

Sejak hari itu, es krim vanila lapis cokelat kacang menjadi es krim favoritku, senyum miring kumis kucingnya menjadi senyum favoritku, dan Arka menjadi teman favoritku. Sejak hari itu, kehadiran Arka terasa bagai udara yang bebas kuhirup kapanpun aku menginginkannya dan kukira akan selalu begitu. Tapi, aku sadar sekarang, meski berada dalam jangkauan tanganku, Arka tak selamanya mudah untuk kuraih.

Selain mengikuti kelas persiapan ujian dari sore hingga malam--kelasku baru selesai setengah jam yang lalu--aku menghabiskan waktuku duduk di Ice Cream Corner sepanjang hari. Kubuka buku latihan soal matematika yang sengaja kubawa, tapi mataku lebih sering mengikuti Arka dibanding membaca angka.

Arka duduk. Arka berdiri. Arka mengerutkan kening, menggaruk telinga, bolak-balik melayani pesanan di booth. Aku tahu berapa kali Arka menguap hari ini. Aku juga melihat lingkaran hitam di bawah matanya--pertanda Arka kurang tidur--dan menyadari teman favoritku itu tak pernah duduk lebih dari beberapa detik--pertanda dia sedang gelisah.

Betapa menyiksa--mengetahui ada sesuatu yang mengganggu pikiran Arka, tapi tak dapat bertanya, apalagi membantunya. Aku bahkan tak berani mendekati teman favoritku! Menoleh padaku saja tak pernah lagi dia lakukan. Jika aku memaksa mendekatinya, aku takut Arka malah menolakku secara terang-terangan dan semakin menjauhiku. Semakin membuatku sedih.

Hari ini, kulihat Alisa benar-benar telah meninggalkan highheels-nya. Dia selalu memakai flatshoes sekarang--flatshoes pemberian Arka. Padahal sebelumnya, Alisa tak pernah memakai sepatu yang tingginya kurang dari 7 cm--seolah tinggi badannya masih belum ideal tanpa tambahan highheels.

Menara Awan - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang