39 - Collapse

194 11 0
                                    

NAPASKU MENGHENTAK PELAN saat Arka menyebut nama kedua orang tuaku.

"Waktu aku lihat nama mereka tertulis di daftar korban tabrakan beruntun malam itu..." Arka bicara sambil memejamkan mata dan menggelengkan kepala perlahan--seolah ingin mengusir kenangan buruk dari pikirannya, "Aku langsung datang ke rumah sakit, tapi kamu nggak ada. Aku panik cari kamu. Aku bahkan nggak sempat ketemu Nata, padahal dia juga ada di IGD malam itu."

"Waktu aku menemukan kamu meringkuk di depan Ice Cream Corner... Aku yang tadinya mau kasih tahu kamu soal Nata, akhirnya nggak tega menambah beban kamu," tutur Arka, "Aku berniat menunggu sampai kondisi kamu lebih baik buat menceritakan yang sebenarnya. Aku bahkan sudah siap kalau kamu menyalahkanku atas kepergian Om dan Tante. Tapi, kondisi kamu malah tambah parah. Kamu nggak mau makan, nggak mau bicara sama sekali."

"Aku nggak berencana merahasiakan hal ini dari siapapun. Tapi, waktu kamu minta aku mengurus semua hal yang berkaitan dengan kecelakaan itu, aku berpikir...mungkin ini jalan terbaik. Kamu nggak perlu tahu siapa yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi. Dengan begitu, aku bisa tetap berada di samping kamu--menemani dan menjaga kamu setiap saat."

"Nata juga nggak perlu tahu kalau dia menyebabkan orang tua kamu meninggal. Dengan begitu, dia bisa terbebas dari rasa bersalah yang jauh lebih besar dari rasa bersalah yang dia rasakan karena sudah bikin seorang anak kecil amnesia," Arka menatapku. Ekspresi wajahnya berubah memohon, "Nata satu-satunya keluarga yang kupunya. Aku nggak bisa membiarkan dia menanggung rasa bersalah sebesar itu dan, sebagai ganti kebahagiaan Nata, aku janji sama diriku sendiri, aku bakal bikin kamu bahagia."

Belasan tahun aku mengenal Arka, baru detik ini aku dapat memahami dirinya seutuhnya. Di mana dia menempatkan Nata di hatinya, di mana dia menempatkanku, dan di mana dia menempatkan dirinya sendiri.

"Ternyata benar, kamu rela melakukan apapun demi kebahagiaan orang yang paling kamu sayangi-demi Nata," aku berujar pelan.

Arka menunduk.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Kita nggak harus melakukan apapun."

"Kamu bakal membiarkan Nata tetap nggak tahu apa-apa?"

Arka tak menjawab, tapi lagi-lagi dia memberiku tatapan memohon. Aku mengerti. Dia tak akan meminta, apalagi memaksaku melakukan atau tidak melakukan apapun, tapi dia tetap berharap aku tak akan melakukan hal-hal tertentu--memberitahu Nata, misalnya.

"Nata butuh kamu di sisinya," ucap Arka.

"Maksud kamu?"

"Nata lebih membutuhkan kamu daripada aku."

Aku masih tak mengerti maksud ucapan Arka, tapi ponsel di sakuku bergetar. Aku pun menunda pertanyaanku padanya.

"Halo, Inda?" aku menyapa Inda dan terkejut mendengar suara tangisnya balik menyapaku, "Kamu kenapa?"

Inda menjawab pertanyaanku sambil menangis.

"Aku nggak mengerti kamu ngomong apa!" seruku.

Dia pun berusaha menghentikan tangisnya, lalu mengatakan sesuatu yang membuat tubuhku seketika lunglai.

Aku menurunkan ponselku tanpa menutup sambungan teleponnya. Aku menoleh. Arka menatapku cemas.

"Kenapa?" tanyanya, "Inda bilang apa?"

"Nata... Dia tahu soal kecelakaan itu. Dia collapse."

Ragu. Hatiku terpecah. Satu bagian menahanku di sini--di tempat yang kuinginkan--sementara bagian lain menarikku pergi ke tempat di mana aku dibutuhkan.

Menara Awan - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang