Tiga chapter terakhir nih.
Are you ready?
☀️
“HAI, BARU DATANG?” Nata menyambutku riang.
Setengah jam aku mematung di luar kamarnya untuk memastikan isi pikiranku yang semrawut tak muncul di wajahku. Nata sangat lihai membaca raut wajah. Jika dia melihatku gelisah, dia pasti akan mendesakku bercerita atau dia sendiri yang akan menebak penyebab kegelisahanku.
“Iya,” kataku.
Otot pipiku terasa kaku saat kupaksa membentuk senyum. Aku duduk di kursi di samping ranjang sambil mengedarkan pandanganku. Inda tak ada, tapi suara air mengalir terdengar dari kamar mandi.
“Gimana keadaan kamu?” tanyaku. Aku menatap Nata.
“Sempurna.”
Nata tersenyum lebar. Matanya berbinar-binar. Aku belum pernah melihat Nata sebahagia ini. Andai bisa, aku yakin dia akan melompat atau berteriak girang untuk mengekspresikan kebahagiaannya.
“Kamu pasti nggak akan menyangka, Abang datang ke sini tadi,” ujarnya.
Aku terkejut mendengar ucapan Nata. Apa dia tak tahu, aku telah bertemu kakak tirinya saat dia keluar dari kamar ini? Apa Inda sengaja tak memberitahu Nata mengenai pertemuan singkat kami tadi?
“Arka? Mau apa dia ke sini?”
“Minta maaf,” Nata menjawab sambil memandangi dinding di hadapannya, “Tadi itu momen paling membahagiakan dalam hidupku.”
“Kenapa? Karena Arka minta maaf?”
Nata menggeleng, “Karena, untuk pertama kali, Abang tersenyum buatku.”
Inda keluar dari kamar mandi. Aku menoleh padanya, tapi dia berjalan lurus menuju meja makan kecil di seberang ruangan. Matanya pun menatap lurus ke meja makan, seperti sengaja tak ingin bertatap muka denganku.
“Jadi, kalian sudah...apa? Akur?” tanyaku--masih sambil menatap Inda.
“Semacam itu.”
“Wow, selamat!” Aku sengaja bicara dengan suara keras--kesal karena Inda mengabaikanku--lalu mengembalikan mataku ke wajah Nata.
Tanpa berpikir panjang, aku pun berkata, “Mudah-mudahan, setelah ini, kalian bisa saling jujur dan terbuka satu sama lain. Nggak ada yang ditutup-tutupi. Nggak ada lagi masalah yang bisa bikin kalian jadi berantem.”
Suara benda terjatuh mengejutkanku dan Nata. Kami sama-sama menoleh dan melihat Inda terbelalak menatapku sambil menggenggam apel di tangannya. Sebuah pisau tergeletak di lantai dekat kakinya.
Buru-buru Inda memungut pisau yang dia jatuhkan, lalu kembali memotong apel yang dia pegang. Inda berusaha menutupi kegugupannya, tapi aku telanjur melihat ekspresi ngeri di wajahnya. Inda takut aku akan membocorkan rahasia yang disimpannya pada Nata.
Nata pun menyadari sikap aneh Inda, tapi dia hanya bertanya padaku, “Maksud kamu?”
“Nggak ada maksud apa-apa.”
“Kamu nggak kelihatan senang,” selidiknya.
Aku menghela napas. Kukira kebahagiaan akan membuat Nata terbuai, tapi ternyata, kebahagiaan tak mengurangi kepekaannya. Dia tetap berhasil menghitung satu tambah satu sama dengan dua.
Dengan cepat, dia mengaitkan sikap aneh Inda dengan ucapanku, lalu menyimpulkan adanya motif tersembunyi di balik ucapanku tadi--motif yang aku dan Inda tahu, tapi tak diketahuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menara Awan - COMPLETED
RomansaKehilangan Ayah dan Ibu membuat Bianca sangat benci ditinggalkan. Satu-satunya cara agar tak ditinggalkan adalah dengan tak pernah membiarkan siapapun berada di dekatnya... ...kecuali Arka, teman favoritnya. Hingga suatu hari, hal yang paling dia ta...