9 - Pecah

116 11 0
                                    

"ARKA?"

Aku berseru terkejut melihat teman favoritku muncul dari kamar yang ditempati Alisa. Apa yang dia lakukan di sini?

"Lho, Bi? Lagi apa kamu di sini?" Arka terlihat sama terkejutnya denganku.

Dia melangkah keluar-tampak sangat berhati-hati agar tak membuka pintu terlalu lebar, lalu cepat-cepat menutupnya kembali seolah tak ingin aku mengintip melalui celah pintu.

"Aku..." aku tak dapat mengingat alasanku datang kemari. Rasa terkejut membuat pikiranku berantakan, "Kamu sendiri lagi apa di sini?"

"Mm, aku ada perlu," jawabnya.

Aku menyipitkan mata menatapnya curiga, tapi Arka memalingkan wajah sambil mengelus tengkuknya sekilas-pertanda gugup. Dia kembali menatapku, "Kamu mau ketemu Alisa? Jangan sekarang, Bi. Dia lagi sakit, nggak mau diganggu."

"Oh, ya?" nada tak percaya mewarnai suaraku. Apapun yang dikatakan Arka, keberadaannya di sini menunjukkan Alisa tak keberatan diganggu olehnya.

Arka langsung menarik tanganku agar aku mengikutinya turun ke lobi. Lobi yang lebih mirip ruang tamu, menurutku.

Hotel bintang dua yang lekat dengan warna merah--sesuai nama hotelnya--ini memang memiliki desain ruangan yang homey. Bagian luarnya minimalis dengan dominasi warna hitam. Sementara bagian dalamnya dibuat senyaman dan semirip mungkin dengan rumah.

Kuakui, pilihan hotel Alisa tak semewah yang kubayangkan. Mengingat kesan angkuh yang kerap dia tunjukkan padaku, siapa yang akan mengira dia mau tinggal di hotel yang bukan bintang tiga ke atas?

"Kamu bawa mobil?" tanya Arka.

Aku menggeleng. Baru tadi pagi, kumasukkan si Jazzy--mobil kecilku--ke carwash dekat Ice Cream Corner.

"Ya, sudah. Ikut aku saja. Mau ke toko, kan?"

Aku mengangguk. Lalu tanpa suara mengikuti Arka ke area parkir di halaman depan hotel.

"Kamu lagi apa berduaan di kamar Kak Alisa?" tanyaku setelah cukup lama kami membisu.

Arka menoleh untuk menatap wajahku. Jika bukan karena mobil Arka tengah berhenti di lampu merah, tak akan kubiarkan teman favoritku itu mengalihkan pandangannya dari jalan.

"Kenapa? Kamu curiga aku macam-macam sama Alisa?"

"Iya, lah. Siapa yang nggak bakal curiga lihat kamu keluar dari kamar hotel Kak Alisa pagi-pagi kayak begini?"

Mobil di depan kami mulai bergerak. Arka pun kembali menjalankan mobilnya.

"Kamu lupa, Bi? Kita juga sering banget berduaan di apartemen," katanya, "Malah kita pernah berhari-hari menginap di Ice Cream Corner-cuma kita berdua. Tapi, nggak terjadi apa-apa, kan?"

"Itu beda."

"Beda gimana? Kamu perempuan, Alisa juga perempuan. Nggak ada bedanya."

"Beda, lah! Aku cuma anak kecil buat kamu, tapi Kak Alisa bukan. Dia perempuan dewasa, cantik, menarik."

"Hm. Begitu, ya, menurut kamu?"

Aku mengangkat bahu, "Memang begitu faktanya, kok."

Arka memarkirkan mobilnya tanpa bicara. Kami telah sampai di depan Ice Cream Corner.

Aku hendak membuka sabuk pengaman saat Arka tiba-tiba membalikkan badan menghadapku. Dia menatap mataku lekat dan, untuk pertama kali, aku menyadari satu hal yang belum pernah kumasukkan ke dalam daftar daya tarik Arka.

Mata.

Bola mata Arka berwarna coklat terang-semakin ke tengah warnanya semakin gelap. Hampir setiap hari selama tiga belas tahun, aku menatap mata Arka, tapi baru kali ini matanya membuatku merasa terperangkap.

Menara Awan - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang