JARUM JAM TELAH MENYERET DIRINYA menuju malam, tapi Arka masih belum tampak batang hidungnya. Jam berapa dia akan datang?
Aku mondar-mandir di ruang tengah. Pikiranku sibuk menerka hal apa yang ingin dibicarakan Arka padaku, sementara mataku berkali-kali menatap jam dinding. Dalam hati, aku mengutuki jarum jam yang seperti sengaja bergerak lambat hanya untuk membuatku kesal.
Tepat saat aku memutuskan untuk menunggu sambil duduk di depan pintu, suara bel terdengar. Aku nyaris melompat karena terburu-buru berdiri. Kutarik napas dalam-dalam, lalu kubuka pintu.
Arka berdiri di hadapanku. Senyum merekah di wajahnya saat dia melihatku, seperti senyumku yang langsung mengembang begitu aku melihat wajahnya.
Rasa lega menyeruak masuk ke dalam dadaku. Semua ketegangan lenyap. Untuk sesaat. Sebelum rasa canggung menghampiriku dan Arka.
Kami duduk berhadapan di meja konter dapur dengan semangkuk es krim di tangan masing-masing. Rasanya seperti kembali ke masa lalu, saat kami biasa duduk berjam-jam hanya untuk mengobrol sambil menyantap es krim. Andai kami tak membisu saat ini, pasti akan benar-benar terasa seolah tak ada yang berubah. Andai.
Aku membuang napas, lalu menyumpal mulutku dengan sesendok besar es krim--mengosongkan mangkuk yang kupegang. Tanpa bicara, Arka mengambil mangkuk kosongku, lalu berdiri dan membawa mangkuk kami ke bak cuci piring seperti yang selalu dia lakukan tiap kali kami selesai makan bersama.
Aku ikut berdiri dan langsung menghalangi jalannya.
“Aku bisa cuci piring sendiri,” kataku.
Tanganku terangkat hendak mengambil tumpukan mangkuk dari tangan Arka. Tapi, Arka berkelit cepat sehingga tanganku gagal menyentuh mangkuk-mangkuk itu.
“Aku yang biasa cuci piring di sini,” kilahnya sambil berlalu dari hadapanku.
Aku menyusulnya. Kami berdiri di depan bak cuci piring sekarang. “Itu dulu! Kamu nggak perlu cuci piring lagi sekarang.”
“Tapi aku mau cuci piring.”
“Nggak perlu!” tegasku. Aku merebut mangkuk-mangkuk itu, lalu menaruhnya dengan kasar di bak cuci piring, “Kamu cuma tamu di sini. Tamu nggak seharusnya cuci piring.”
Arka menghela napas berat, “Aku nggak tahu kalau aku cuma tamu di sini.”
“Kalau bukan tamu, terus kamu ini siapa? Teman? Pacar? Atau saudara? Bukan, kan?” tanyaku sedih.
Kenapa Arka harus bersikap seolah beberapa bulan terakhir ini tak pernah ada? Kenapa dia harus bersikap seolah semua masih sama?
Tak ada yang sama di antara kami sekarang. Saat aku menyadari cintaku padanya, aku telah keluar dari jalur pertemanan kami, dan saat Arka menyatakan keinginannya untuk keluar dari kehidupanku, dia juga telah meninggalkan zona kami. Jadi, siapa dia untukku dan siapa aku untuknya sekarang?
“Iya, kamu benar,” akhirnya Arka mengakui ucapanku. Kerutan sedih muncul di keningnya, hanya sebentar, lalu menghilang, “Aku berutang banyak penjelasan sama kamu."
Sepercik semangat muncul di hatiku. Aku telah lama menantikan penjelasan ini darinya. Pasti melegakan jika aku dapat memahami apa yang sebenarnya ada dalam pikiran Arka. Apa yang sebenarnya terjadi pada kami.
Lalu tiba-tiba aku teringat. Penjelasan Arka belum tentu bisa memperbaiki apapun yang telah rusak dalam hubungan kami. Semangatku pun kembali padam.
“Baguslah kalau kamu sadar.”
Arka menyentuh wajahku dengan punggung tangannya sekilas. “Kamu marah,” ujarnya, “Pasti kamu marah. Pasti sedih. Pasti sakit hati. Gara-gara aku,” dia menunduk menatap mataku, “Aku minta maaf. Aku bakal melakukan apapun--apapun!--asal kamu mau memaafkanku.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Menara Awan - COMPLETED
DragosteKehilangan Ayah dan Ibu membuat Bianca sangat benci ditinggalkan. Satu-satunya cara agar tak ditinggalkan adalah dengan tak pernah membiarkan siapapun berada di dekatnya... ...kecuali Arka, teman favoritnya. Hingga suatu hari, hal yang paling dia ta...