10. Penjelasan

208 69 49
                                    


"Kakak sebenarnya kenapa? Di peraturan yang kakak buat, tidak boleh mencampuri urusan pribadi masing-masing. Tapi ini apa?"

Hyera melepaskan cengkeraman tangannya dari Jeno dengan kasar. Napasnya memburu menahan emosi yang meledak-ledak.

"Hubungan? Jangan terlalu percaya diri, Wahai Pembantu," sahut Jeno dengan mata melebar.

"Ma-maksud aku___"

Kini Hyera malah mati kutu. Ucapan Jeno memang benar. Ungkapan "hubungan" itu terlalu jauh, bukankah lebih tepatnya kesepakatan. Karena memang mereka hanya terikat karena kesepakatan.

"Itu supaya kamu tahu diri. Kenapa kamu dekat-dekat dengan Hendery?! Benar-benar gadis luar biasa," bentak Jeno sambil melipatkan tangan di dada. Mata tajamnya mengamati Hyera dari kepala hingga kaki.

Hyera menaikkan alis bingung. Entah karena kelelahan, dia juga tidak tahu. Yang pastinya dia benar-benar tidak paham dengan ucapan aneh Jeno.

"Maksud kakak apa?"

"Kamu mengincar laki-laki yang kaya?" ungkap Jeno dengan tatapan sinis. Matanya memandang rendah gadis yang langsung melotot lebar.

"Kak, jangan sembarangan kalau bicara."

"Jangan munafik."

Hyera menghela napas kasar, kemudian tersenyum hambar. Mungkin selamanya Jeno memang akan memandangnya seorang penjilat. Tidak ada gunanya semua kebaikkan yang didapatnya semalam, bahkan saat laki-laki bermulut tajam ini menolongnya tempo hari.

"Ck! Baiklah, kalau memang benar, kenapa? Apa hubungannya dengan kakak? Kenapa kakak peduli? Tohnya bukan kakak yang dirugikan?" Hyera membalas ucapan Jeno penuh percaya diri, bahkan tatapannya pun tak kalah tajam.

"Hendery sahabatku."

Hyera tertawa sinis. "Sahabat? Seorang Lee Jeno peduli sahabat? Sama sekali tidak cocok."

Jeno semakin marah. Didekatkan tubuhnya ke arah Hyera, hingga gadis itu beringsut menjauh. Matanya merah menyala seolah siap membakar apa pun yang ada di sekitar. Tidak bisa dipercaya Hyera berani menertawakannya, bahkan menyela ucapannya.

"Kamu jangan sembarangan bicara, Penjilat!!!" bentak Jeno dengan mata memerah. Tangan besarnya mengepal erat dengan urat tercetak jelas.

Hyera membeku. Tubuhnya bergetar hebat menahan takut. Suara Jeno terdengar menggelegar memenuhi ruangan tamu. Dieratkan genggaman tangannya sendiri dengan kepala tertunduk. Matanya belum berani menatap Jeno yang masih berdiri di depannya.

"Aku di sini majikan. Kalau kamu tidak senang dengan peraturan dan keputusan yang aku buat, kamu bisa angkat kaki dari sini," tegas Jeno lagi.

Mulut Hyera masih membungkam. Masih terdengar jelas napas Jeno yang terdengar tidak beraturan, sepertinya emosinya masih meledak-ledak.

"Ma-maaf, Kak," lirih Hyera pelan dengan tangan yang masih memegang erat ujung bajunya.

Jeno tersenyum tipis. Perlahan didekatkan tubuhnya. Lagi-lagi Hyera beringsut menjauh.

"Jangan jadi pembangkang. Atau kamu mau kertas yang berisi peraturan itu ditempelkan di sini?" ujar Jeno sambil menyentil kening Hyera. Gadis itu meringis memegangi keningnya. "Atau jangan-jangan kamu lupa dengan peraturan yang ke empat?"

Hyera menganggukkan kepala, tapi masih enggan menatap Jeno.

"Iya, aku ingat, Kak," sahut Hyera pelan. Walau sebenarnya hatinya sedang mendongkol. Sebenarnya mulutnya sudah gatal ingin melawan semua ucapan Jeno, tapi bagaimana bisa. Dia masih butuh tempat tinggal dan uang.

Last December (Tamat)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang