Jeno menghentikan langkah saat sepasang kaki menghalanginya. Na Jaemin. Sudah lebih dari 2 hari dia putus dengan Hyera. Dan dia yakin laki-laki ini sudah mendengarnya. Bisa saja dia sudah mendapati wajah muram Hyera, bukankah Jaemin laki-laki yang senantiasa memerhatikan gadis itu. Dia siap jika saja laki-laki ini membunuhnya sekarang."Kenapa kau memutuskan Hyera?"
"Maaf." Jeno menyahut santai. Mata coklatnya menatap Jaemin tanpa dosa. "Sekarang kau boleh mengambilnya," sambungnya.
"LEE JENO!!!"
"Sejujurnya aku tidak sungguh-sungguh dengan Hyera. Aku hanya penasaran menjalin hubungan dengan gadis yang serba kekurangan sepertinya."
Jeno menyelipkan tangan ke saku. Berdiri angkuh menikmati raut muka laki-laki yang sedang meredam amarah. Hingga detik berikutnya dia memekik saat pukulan keras menghantam wajahnya.
Jeno tersungkur. Menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya, kemudian tersenyum tipis.
Setidaknya bebannya berkurang saat mendapatkan pukulan dari rivalnya ini."Terima kasih. Memang ini yang ingin kudapatkan darimu."
Masih tidak acuh Jeno beranjak dari posisinya dan meninggalkan Jaemin.
"Kenapa kau tidak berusaha keras? Kenapa kau tidak bertahan berengsek!!!" teriak Jaemin dengan suara bergetar.
Langkah Jeno terhenti, perlahan dia kembali membalikkan tubuh. Namun, mulutnya masih diam membisu, seakan mempersilakan Jaemin melampiaskan amarah yang entah sebanyak apa di dalam sana. Dia yakin, sudah terpendam lama, dan dia merelakan apapun yang dilakukan laki-laki bermarga Na ini padanya sekarang.
"Kau tega. Kau tahu Hyera sangat menyayangimu. Kenapa kau tega membuatnya menangis?" lirih Jaemin dengan suara yang hampir menghilang. Tangannya mengepal erat, menahan gejolak emosi yang menyiksa sejak kemarin. Marah, benci, bahkan kecewa. Bahkan dia hampir menangis saat melihat Hyera bersikeras masih mempertahankan Jeno di sisinya. Sekerasnya gadis itu menyatakan kalau Jeno adalah satu-satunya andalannya. Sekerasnya dia menyatakan kalau Jeno adalah laki-laki yang sangat dicintainya. Sekerasnya menegaskan kalau Jeno satu-satunya laki-laki yang membuatnya berarti hidup di dunia ini.
Jeno memalingkan wajah ke arah lain. Masih memasang wajah angkuh. Akan tetapi hatinya mengilu, sakit. Semakin terlihat jelas kalau dia seorang penjahat di depan Jaemin. Bukan terlihat jelas, bahkan itu memang nyata.
Dengan keras Jaemin mencengkeram kerah baju Jeno dan menariknya hingga mereka berhadapan. Tatapan mereka beradu dengan mata merah berair. Deru napas keduanya menerpa wajah masing-masing.
"Aku benci waktu tahu kalian tinggal serumah. Aku benci waktu tahu kalian menjalin hubungan. Tapi, aku lebih benci kalau sampai kau membuatnya menangis."
Tidak tertahan, air mata Jaemin pun mengalir. Kepalanya tertunduk dalam seiring dengan cengkeraman di kerah baju Jeno yang mulai mengendur.
"Aku, benci melihatnya menangis karena kau. Aku benar-benar tidak tahan, tapi sekarang aku sadar kalau dia memang tidak bisa melepaskanmu dan aku benci itu. Kenapa kau tidak berjuang lebih keras. Kenapa kau tidak bisa membuatnya bahagia sampai akhir."
Jaemin melepaskan tangannya dari kerah baju Jeno. Sebesar apapun bencinya dia dengan laki-laki ini, tapi dia juga bingung harus bagaimana. Dia tahu kalau Jeno juga dalam keadaan putus asa. Dan dia yakin Jeno tidak sungguh-sungguh melepaskan Hyera begitu saja.
"Kau tahu ... Seberapa keras aku berusaha melepaskannya padamu?" parau Jaemin pelan.
"Aku juga tidak mau mati. Aku juga tidak mau meninggalkan Hyera. Aku sangat menyayanginya. Aku sangat, sangat mencintainya. Kalau boleh, aku ingin tetap hidup dan membuatnya bahagia. Tapi ... aku bisa apa? Kadang aku juga ingin egois. Tetap menjalin hubungan dengannya, sampai nanti aku tiba-tiba pergi. Tapi aku tidak bisa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Last December (Tamat)√
FanfictionTuhan.. Jika memang masih ada sedikit kebahagiaan yang kumiliki. Aku ingin memberikan semuanya untuk Hyera. Tidak masalah aku pergi lebih cepat, asal gadis itu benar-benar bahagia tanpaku.