9. Pengumuman

211 69 42
                                    


Jeno bangkit dari duduk saat melihat Hyera masuk dari pintu utama. Matanya melirik tangan Hyera yang diperban. Sepertinya gadis itu menyadari, karena dia langsung menyembunyikan tangannya ke dalam saku.

"Kenapa kakak belum tidur?" tanya Hyera sambil tersenyum manis. Namun, tidak dengan jantungnya yang berdetak kencang. Apa dia terlalu percaya diri, kalau Jeno sedang mengkhawatirkannya sekarang.

Jeno tidak menyahut. Masih mengamati Hyera yang menuju dapur dan mengambil minuman dari dalam kulkas. Gadis itu tampak kesulitan menuangkan minum ke dalam gelas hingga Jeno pun beranjak mendatanginya dan menuangkannya.

Lagi-lagi Hyera terkejut. Setelah mengambil gelas, cepat-cepat dia beranjak menjauh.

Jeno menatapnya bingung. "Kenapa?" tanyanya dengan alis terangkat sebelah.

"Bukannya harus menjaga jarak 2 meter," jawab Hyera sambil menghapus sisa minum di bibirnya.

Jeno kembali terdiam. Didekatinya Hyera yang masih tampak bingung. Gadis itu semakin terkejut saat Jeno tiba-tiba menangkap tangannya.

"Ka-kakak mau apa?"

"Pasti kamu pakai obat murah," ucap Jeno sambil mengamati tangan Hyera yang diperban.

Tanpa melihat wajah terkejut Hyera, Jeno membimbingnya duduk kemudian membuka perban perlahan. Dia beranjak mengambil kotak P3K dari dalam lemari.

Hyera membeku. Tubuhnya panas dingin saat Jeno dengan tenang mengoleskan salep di lengannya.

"K-kok, kakak tahu?" sahut Hyera gugup. Setidaknya dia harus merespon ucapan Jeno agar gugupnya tidak terlalu kentara.

"Karena aku cucunya peramal," sahut Jeno asal.

Hyera mencoba menahan senyum. "Kakak bisa bercanda juga ternyata," ujarnya di sela kekehannya. Setidaknya dia mulai bisa membiasakan diri dengan wajah Jeno yang terlampau dekat.

"Jangan pernah membuang harga diri lagi. Tidak seharusnya harga diri dibuang sia-sia seperti tadi," ucap Jeno yang masih sibuk dengan kegiatannya.

Hyera terperanjat. Suara Jeno terdengar lebih lembut dari biasa. Diamatinya wajah Jeno yang masih menunduk. Entah hanya perasaanya saja, tapi Jeno terlihat seperti laki-laki yang penuh perhatian. Atau mungkin saja laki-laki ini memiliki kepribadian ganda.

"Karena aku tidak punya apa-apa, Kak," sahut Hyera pelan. Namun, tidak dengan jantungnya yang bergemuruh di dalam.

Jeno menghentikan kegiatannya. Seketika dia terusik dengan ucapan Hyera barusan. Ucapan Hyera terdengar natural tanpa dibuat-buat. Dan belum lagi tatapan mata kelamnya yang menunjukkan ketulusan.

Seketika tatapan mereka beradu. Seolah menerobos isi pikiran masing-masing.

"Aku tidak punya apa-apa. Aku cuma punya otak dan harga diri. Jadi penopang hidupku ya hanya itu," sambung Hyera seraya tersenyum manis.

Jeno terpaku. Sebenarnya hatinya terenyuh mendengar ucapan spontan Hyera. Kenapa pola pikir gadis ini selalu di luar nalarnya.

"Kamu memang tidak waras."

"Aku punya otak pintar, makanya aku masih bisa memilih di mana harga diriku seharusnya kupakai, Kak," sambung Hyera lagi.

Jeno tersenyum kecut dan kembali melanjutkan kegiatannya. Apa Hyera baru saja menghipnotisnya? Kenapa dia sekarang malah berpikir kalau Hyera gadis yang butuh perlindungan.

"Manusia itu seharusnya menjunjung tinggi harga diri. Bahkan banyak orang yang memilih menahan lapar dari pada kehilangan harga diri," cetus Jeno tanpa menatap Hyera.

Last December (Tamat)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang