23. Pengakuan

180 47 68
                                    

Jeno merebahkan tubuhnya di atas kasur. Mata coklatnya menatap nanar langit-langit kamar. Apa yang sudah dia lakukan? Apa yang terjadi sekarang?

Jeno memegang dadanya erat dengan mata terpejam. Ditekuk lututnya dalam sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan besarnya. Sungguh dia ingin menyembunyikan diri sekarang. Dia tidak ingin sakit dan kecewa lagi.

Dia baru sadar, kalau selama ini selalu memberi harapan pada Hyera. Semua mengalir dengan sendiri. Perhatian dan kata-kata manis, itu adalah gejolak yang terlahir dari benaknya. Salahkan saja Hyera yang terlalu sering menggodanya dengan berbagai cara. Bahkan dengan cara mencari perhatian darinya.

Apa dia terlalu kentara? Menunjukkan perhatian? Ya. Dia memang sudah tidak waras. Sesaat dia marah dan tiba-tiba pula dia bisa perhatian pada Hyera. Wajar saja gadis itu frustrasi. Akan tetapi, tetap saja dia tidak menyangka kalau Hyera malah peka dengan apapun yang dia lakukan padanya.

Dan tadi, dia sungguh lega mengungkapkan pada Jenny tentang Hyera. Namun, entah kenapa dia malah khawatir dengan Hyera. Entah hanya perasaanya saja, kalau gadis itu seperti menyimpan tanya tentang hubungannya dengan Jenny. Benak Jeno mulai takut. Dia sungguh takut jika saja Hyera salahpaham, kalau dia dan Jenny memiliki hubungan. Dan sampai tadi dia berusaha membuat Hyera memberikan celah padanya, agar gadis itu percaya kalau dia hanya mengkhawatirkannya dan dia akan selalu memberinya perhatian.

Sekarang apa yang harus dia lakukan? Ingin rasanya dia menghilang sekarang juga. Hingga tidak akan ada yang sakit baik itu Hyera maupun dirinya sendiri. Bisakah dia menjadi butiran salju? Dengan begitu dia bisa menghilang tanpa bekas saat tersentuh air.

##

Suasana di meja makan tampak sunyi. Hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring terdengar nyaring memenuhi ruang makan. Dua orang tampak fokus dengan hidangan yang sebenarnya tidak terlalu istimewa.

"Kak, aku___"

"Aku duluan," ucap Jeno tanpa menatap Hyera yang beranjak dari duduknya dan berlalu.

Hyera menghela napas berat. Dia memang sudah meruntuki dirinya sendiri sejak semalam. Dengan beraninya dia mengungkapkan perasaan pada Jeno. Dia siapa? Sungguh berani mengungkapkan perasaan pada Jeno. Pasti Jeno benar-benar sangat marah sekarang. Dan bisa saja dia akan dipecat hari ini juga. Sungguh Hyera harus menghentikan mentalnya yang sekeras baja.

##

Hyera mengamati wajah Dejun lamat-lamat. Dibolak-balikkan rahangnya bergantian. Kemudian dia mengangguk pelan.

"Sudah lumayan membaik," ucap Hyera sambil mengambil salep dari tas Dejun.

Dejun tersenyum manis. Dia baru tahu kalau luka di wajahnya bisa membuatnya sebahagia ini. Berharap saja kalau lukanya akan bertahan lama, sehingga gadis ini akan tetap mengkhawatirkannya.

"Kamu sudah makan?" tanya Dejun. Matanya masih terus menelusuri setiap sudut wajah Hyera yang hanya berjarak 15 senti darinya.

"Ck! Kenapa semua orang yang ada di sekelilingku selalu bertanya makan. Bosan," omel Hyera sambil membuka salep dan mengoleskan ke sudut bibir Dejun.

Dejun tersenyum. Matanya masih betah menikmati wajah dekat Hyera. Apa memang dia baru menyadari kalau Hyera berkali-kali lipat lebih cantik saat ditatap sedekat ini.

"Itu karena badanmu terlalu kurus. Jadi orang selalu ingin traktir kamu makan."

Hyera mendecak.

"Dari pada traktir makan, lebih baik memberiku uang," sungut Hyera dengan nada kesal. Bibirnya sedikit manyun.

"Kalau dikasih uang, kamu pasti akan menyimpan uangnya. Benar, tidak?"

Dejun melebarkan senyum. Kini Hyera terlihat menggemaskan dengan bibir manyun.

Last December (Tamat)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang