44. Maaf

167 30 8
                                    

Jeno menatap sekitar saat sepasang kaki menghalangi langkahnya. Dejun. Dia yakin apa yang ada di kepala laki-laki ini. Sebenarnya dia juga ingin menemuinya, makanya dia memutuskan pergi ke kampus lebih cepat dari biasa.

"Jangan di sini," ujar Jeno sambil beranjak dan diikuti oleh Dejun.

Keduanya saling menatap saat sudah sampai di belakang kampus. Suasana masih sunyi. Itu karena masih pagi, belum lagi hawa dingin di luar yang membuat orang enggan berlama-lama di tempat terbuka.

Dejun mengamati wajah Jeno lamat-lamat. Penuh kawatir. Wajahnya lebih pucat dari biasa, bahkan matanya pun terlihat cekung. Kini dia semakin merasa bersalah saat berhadapan dengan laki-laki berwajah pucat ini.

Selama ini dia memang tahu dari papanya kalau Jeno sakit-sakitan. Dan dia pikir hanya sakit biasa, mungkin karena imunnya yang terlalu lemah. Akan tetapi, setelah mendengar penjelasan papanya semalam, ternyata sakit Jeno separah itu. Kanker hati. Sungguh dia menyesal telah bersikap kasar pada laki-laki ini. Bahkan kerap kali dia mengoloknya.

"Apa yang kudengar semalam benar? Juga soal golongan darahmu," cetus Dejun hati-hati. Entah kenapa dia bingung memulai percakapan. Semalaman dia bahkan tidak bisa tidur karena memikirkan keadaan Jeno. Meminta penjelasan pada papanya tidak ada gunanya dan dia hanya perlu menanyakan langsung pada laki-laki ini.

"Apa yang kau dengar semuanya benar." Jeno menyahut enteng. Sangat ringan tanpa beban, seperti sepoi angin menerpa surai lebatnya.

"Pendonornya ...."

Dejun menghentikan ucapannya. Lidahnya terasa kaku menyatakan kekalutannya, padahal banyak kejelasan yang dia inginkan.

"Aku bisa sembuh dengan tranplantasi hati."

Seketika Dejun tercekat, jantungnya berhenti berdetak. Membuat wajahnya memucat bagai kapas. Tidak dapat disembunyikan rasa bersalahnya lagi. Apa yang barusan didengar seperti tamparan keras untuknya, bahkan lebih keras dari yang sering dia dapat dari papanya. Apa dia sudah menjadi penjahat selama ini? Mengatakan hal buruk pada orang yang sedang terpuruk.

"Aku akan membantumu," ucap Dejun cepat. Ucapannya membuat Jeno terperangah, menatapnya tidak percaya. Dan dia menganggap itu sebagai respon baik dari Jeno.

"Benarkah golongan darah kita sama?"

Jeno memang penasaran sejak semalam, dan tentu saja senang saat mendengar ucapan Dejun barusan. Namun, entah kenapa dia malah ragu.

Dejun diam seketika. Dia bukan ragu. Hanya saja dia sedang meyakinkan kebesaran niatnya untuk membantu Jeno. Sekeras mungkin meyakinkan dirinya, untuk bisa melawan papa jika saja nanti melarang.

"Iya. Tapi aku akan memastikan lagi nanti."

Jeno terpaku. Terlihat jelas Dejun sangat sungguh-sungguh dengan ucapannya barusan. Dia senang, tapi tak sedikit pula ragu. Apa bisa semudah itu melakukannya? Bagaimana dengan papa Dejun nantinya.

"Kau tenang saja. Aku sungguh-sungguh dengan ucapanku." Dejun terdiam beberapa detik. Mata hitamnya mengamati wajah pucat Jeno lamat-lamat. Diembuskan napasnya kasar dengan kepala tertunduk. "Maafkan aku ...," lirihnya pelan. Tangannya merosot turun mengepal keras jemarinya.

"Jangan mengasihaniku. Aku tidak suka," pungkas Jeno cepat. Pandangannya beralih menatap ke arah lain. Sampai kapan pun dia tidak akan pernah senang dengan tatapan iba dari orang lain. Bahkan keluarganya sekalipun.

Dejun tersenyum tipis. Benar juga. Siapapun tidak akan senang mendapatkan tatapan iba dari orang lain.

"Kau harus bertahan."

Dejun beranjak meninggalkan Jeno yang masih belum menatapnya. Mengucapkan maaf dan menatap iba bukan berarti membantu Lee Jeno. Yang diperlukan hanya tindakkan.

Last December (Tamat)√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang