5

5.2K 450 17
                                    

Anita tengah mengoles roti untuk kedua putrinya saat telinganya menangkap suara yang berasal dari televisi yang tak jauh darinya menyebut-nyebut nama mantan suaminya.

Ia berhenti sesaat untuk mendongak dan mengarahkan matanya pada layar datar itu, dan menemukan wajah tak asing itu tersenyum tipis dan melambaikan tangannya perlahan. Damian bersebelahan dengan istrinya, berdiri sembari memeluk pinggang istrinya itu mesra, seolah dunia hanya milik mereka berdua.

Tanpa bisa dikendalikannya perlahan hatinya retak kembali, padahal cerita itu sudah lama tapi entah mengapa hatinya menolak lupa. Seharusnya Anita sudah terbiasa melihat mantan suaminya bolak-balik muncul di berbagai siaran TV, seharusnya dia tidak kaget lagi karena sudah sering melihat pria itu bahagia dengan apa yang diperolehnya saat ini. Tapi entah mengapa hatinya menolak melupakannya.

Tanpa sadar ia mengehela napas berat, seolah lupa kalau di ruangan yang sama masih ada dua putrinya yang tengah duduk melihat hal yang sama dan bisa merasakan kepedihan yang menguar darinya.

Anita mendadak sadar dan segera memutuskan pandangannya dari TV saat tiba-tiba benda datar itu berubah gelap, tidak ada wajah pria itu lagi apalagi suara sang pembawa berita yang tadi mengumbar-ngumbar berita bahagia keluarga kaya raya itu.

"Aku lapar mah, rotinya sudah selesai diolesi? " teguran dingin yang terdengar dari mulut putri sulungnya membuat Anita mendadak gugup dan tak sengaja menyenggol dan menjatuhkan segelas susu yang berada di atas meja, sehingga menyebabkan gelas itu pecah berkeping-keping.

"Astaga!" Anita segera melepas roti dan pisau yang dipegangnya dan buru-buru menduduk untuk membersikan pecahan itu.

Alona mengehela napas pelan sebelum melangkah perlahan ke arah ibunya dan ikut menunduk untuk membersihkan pecahan itu.

"Biar Alona saja, mama lanjutin olesin rotinya. Alona udah lapar." ujarnya pelan dan memulai mengangkat pecahan gelas tersebut.

"Jangan. Biar mama saja, sana duduk. Ini nggak bakal lama." Anita tetap berserikeras, medadak tak enak hati pada anak sulungnya karena menjadi cerobo hanya karena pria itu.

"Udah nggak usah. Biar Alona aja, jangan sampai tangan mama luka dan nggak bisa buat adonan kue lagi. Nggak usah kerasa kepala mam."

Anita mengalah, dengan tak enak hati ia berdiri dan membiarkan putri sulungnya melanjutkan pekerjaannya.

Matanya beralih pada putri bungsunya dan mendapati gadis remajanya itu menatapnya dengan pandangan tak terbaca, sebelum putrinya itu membuka mulut dan mengatakan sesuatu yang membuat Anita mematung.

"Mama nggak lagi kangen sama mantan suami mama kan?" Anita mengerjab cepat, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Dibandingkan Alona--putri sulungnya yang cendrung menahan segala sesuatu di pikiranya, Aleeza adalah tipe seseorang yang tidak akan repot-repot menahan apa yang dipikirkannya, apalagi kalau itu mengganggunya.

Dan mendengar cara putrinya itu menyebut ayahnya itu diakhir kalimat tanyanya, sedikit banyak membuat bersedih. Sebenci itu kah mereka pada pria itu, hingga menolak memanggilnya ayah.

"Enggak sayang, mama hanya kaget." Dusta Anita kemudian meremas dres rumahnya lemah. Menahan gejolak dalam dirinya karena membohongi dirinya sendiri dan purtinya.

"Baguslah kalau gitu. Nggak penting banget mikirin orang asing itu." Ujar Aleeza cuek.

"Eza! " Tegur Anita, ia tahu apa yang dilakukan Damian dulu keterlaluan tapi tidak bisa menutupi kenyataan kalau pria itu ayah kandung putrinya. Ia tidak ingin mereka menyiksa diri dengan membencinya terlalu lama.

"Kenapa mam? Memang seperti itu kenyataannya kan? Eza masih kecil saat orang asing itu pergi. Eza bahkan nggak benar-benar mengenali dia. Jadi wajar kalau Eza sebut dia orang asing, sekalipun dia mantan suami mama dan orang yang harusnya ku sebut ayah, Eza nggak sama sekali kenal dia! "

Still The SameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang