Damian melangkahkan kakinya perlahan memasuki rumah orang tuanya, sudah lima tahun ia dan keluarga barunya tinggal bersama orang tuanya. Keputusan itu bukan tanpa alasan, bisnis mereka yang semakin suskses membuat Damian dan Ayahnya diharuskan tinggal bersama, agar memudahkan mereka dalam mengurus bisnis bersama.Pria itu berjalan lemah melewati ruangan tengah rumah mewah itu, ia terlalu fokus pada pikirannya sendiri hingga tak menyadari keberadaan ibunya--Elis yang tengah duduk di ruangan itu menantinya pulang.
"Kenapa baru pulang nak?" Elis menegur pelan sembari meletakan cangkir tehnya pada meja yang berada di depannya. Rautnya terlihat tenang tapi tak dapat menyembunyikan ekpresi penasaran yang ada padanya.
Damian berhenti melangkah dan langsung berbalik menghadap sang ibu, ia menatap sebentar sebelum berjalan menghampiri ibunya, "Tidak dari mana-mana mah, hanya baru selesai mengurus beberapa hal. Mama kenapa belum tidur? " Damian ikut duduk tepat di depan ibunya.
"Belum ngantuk sekalian nungguin kamu yang nggak ngasih kabar dari pagi." Jawab Elis.
Damian hanya mengangguk sebagai respon, hingga Elis merasakan keanehan pada putranya itu.
"Apa ada masalah?" Tanyanya hati-hati.
"Hem? Masalah? Masalah apa mah?" Damian yang menyadari kecurigaan sang ibu sontak mengubah ekspresinya, berusaha menutupi apa pun ekspresi yang ditampilkan wajahnya hingga membuat sang ibu curiga.
"Kamu keliatan murung, kayak baru saja tertimpa masalah besar. Apa ini ada hungannya dengan kedua putri kamu?" Damian sontak mengangkat wajahnya menatap sang ibu yang menatapnya penuh ketenangan, dan ia sadar bahwa dia sama sekali tak bisa membohongi sang ibu.
"Ya." Jawabnya singkat.
Elis menghela napas pelan sembari menatap prihatin pada sang anak, "Pasti kamu sudah mengumpulkan informasi tentang mereka." Damian hanya mengangguk, sementara Elis hanya menggeleng pelan.
"Lalu bagaimana? Kamu pergi menemui mereka?"
Damian tak langsung menjawab, dia termenung beberapa saat mengingat pertemuannya dengan mantan istrinya tadi.
"Hanya bertemu Anita." Jawabnya pelan.
"Lalu?" Elis menegakan tubuhnya, ia langsung tertarik ketika mendengar mantan menantunya lah yang ditemui putranya.
"Dia menolak ku mah, persis seperti yang dilakukan Al dan Eza." Damian mengusap wajahnya kasar sebelum melanjukan ucapannya, "Dia tak ingin aku atau keluarga kita bertemu mereka lagi, dia ingin kita menjauh."
Elis menunjukan raut prihatin pada sang putra, ia merasa iba padanya dan turut merasa sedih. Kalau saja anaknya tak melakukan kesalahan dahulu, mungkin ia tidak harus melihat ekspresi kesedihan Damian sepuluh tahun belakangan ini.
"Mama tidak tahu harus membantu kamu bagaimana nak, karena mama tidak menyangka kalau cucu-cucu mama akan memiliki karakter yang sama persis seperti kau dan ayah mu, kalian sama-sama keras dan susah didekati, apalagi Alona. Entah bagaimana mama tak berani mendekati gadis itu. Karena jika boleh jujur, kadar kebencian gadis iu pada kita sangat besar dan mungkin akan sulit untuk dihilangkan. Dia persis seperti ayah mu yang pendendam. Sekali kita menyakiti mereka maka akan sulit mereka melupakan dan memaafkan." ujarnya kemudian.
Damian terdiam, raut penyesalan kembali terpatri pada wajahnya. Ia membenci dirinya sendiri karena pernah membuat orang-orang yang dicintainya merasa sakit dan terluka. Ia bingung harus bagaimana lagi jika setiap kali dia ingin memperbaiki semuanya justru penolakan yang didapatnya.
"Mama bukan bermaksud mematahkan semangat kamu, tapi ini kenyataan yang harus kamu terima. Ini hasil dari pilihan kamu Dam. Kamu tidak mungkin dapat memiliki keduanya karena jika bisa maka kata bernama penyesalan tidak akan ada dan hidup akan lebih mudah, karena kau bebas menentukan apa yang kau inginkan tanpa repot-repot memikirkan konsekuensi yang akan kau terima." Elis berpindah duduk di sebelah putranya, ia mengelus bahu Damian perlahan guna menenangkannya.
"Hidup memang kamu yang tentukan, Tuhan hanya akan memberikan pilihan, dan kamu yang memilih, jadi karena kamu lebih memilih hidup mu yang sekarang maka jalani lah, jangan paksakan kehendak mu yang lain. Karena ada yang boleh kamu miliki dan ada yang tidak, jika kamu memaksakan diri ingin kembali pada keluarga mu yang dulu lalu akan kau apakan keluarga mu yang sekarang? Kau pikir dari tindakan mu itu tidak akan menghadirkan masalah baru? Hidup tidak berjalan sesuai kehendak mu, berhenti bersikap seenaknya dan berhenti memaksakan kehendak. Kau hanya akan membuat kedua putri mu akan semakin membenci mu." lanjut Elis.
Dia sangat sadar watak anaknya yang suka memaksakan kehendak, pria dewasa itu kadang tak menyadari apa yang diperbuatnya dan di waktu-waktu seperti ini dia baru bisa datang memberikan nasihat, karena Damian bisa menjadi sangat keras kepala jadi akan sulit memberinya masukan jika ia sedang terlihat norma bukan murung dan putus asa seperti saat ini.
"Lalu aku haru bagaimana? Aku sangat ingin bertemu dan berkumpul lagi bersama ke dua putri ku mah. Aku merindukan mereka dan ingin mereka kembali, aku tahu apa yang pernah ku perbuat sangat tak bisa dimaafkan, tapi apa aku tidak layak mendapatkan kesempatan kedua?" Damian menjeda kalimatnya untuk menarik napas dalam, rasanya sangat sesak di dalam dadanya. Persaan rindu sudah tak terbendung lagi dan dia sadar tak dapat menyalurkannya.
"Mama tahu bagaimana keadaan pernikahan ku sekarang kan? Aku dan Sarah seperti bukan suami istri. Kami mejalani pernikahan ini hanya sebagai formalitas semata, bukan pernikahan sesungguhnya, ini bukan cinta mah tapi pernikahan untuk menumpuk harta. Dan aku sudah mulai muak dengan semua ini, aku ingin keluarga ku yang lama kembali dan jika bisa memilikinya lagi aku berjanji akan melakukan apa pun untuk membahagiakan mereka."
***Alona tengah berkutat dengan Laptopnya saat mendengar suara mobil memasuki pekarangan rumah mereka, ia menengadah menatap jam dinding yang sudah menunjukan pukul delapan malam. Gadis itu langsung melompat dari kursinya dan segera keluar dari kamarnya.
Saat sampai di ruangan tamu ia melihat ibunya baru saja masuk dan tengah mengunci pintu.
"Mama kok baru pulang?" Anita tersentak kaget begitu mendengar suara Alona yang tiba-tiba.
Ia berbalik cepat dan mendapati Alona tengah berdiri di tengah ruang menatap penasaran padanya, "Ya ampun kak. Kamu hampir buat mama jantungan." Anita mendekati Alona lalu mencium ke dua pipinya.
"Maaf ya, tadi ada tante Ratna, ngajakin mama dinner bareng, ditambah ponsel mama yang mati jadi mama nggak sempat ngabarin kamu sama Eza." Bohong Anita, ia sengaja berjalan membelakangi putrinya agar Alona tidak tahu ia tengah berbohong, Anita tak ingin putri sulungnya tahu Damian baru saja menemuinya.
"Oh.. pantasan tadi nggak bisa dihubungi, aku kirain tadi ada apa-apa." Alona hendak menjajari langkahnya dengan sang ibu saat ponsel yang dipegangnya berdering, ia menatap layar ponselnya kemudian mengernyit saat tahu nomor tak dikenal yang menghubunginya.
"Siapa?" Gumamnya sebelum menggeser tobol hijau pada benda pipih itu.
"Halo.." Ucapnya saat ponsel itu sudah berada di telinganya.
"Halo Al.. " Suara Kenzo langsung terdengar begitu Alona selesai menyapa dan seketika itu juga Alona menjauhkan ponsel dari telinganya dan dengan terburu-buru mematikannya segera.
"Sialan!" Umatnya dan hal itu tak luput dari pendengaran Anita.
"Kakak!" Tegur Anita.
Alona menoleh pada ibunya dengan wajah kesal dan juga sesal.
"Maaf ma, ada orang sinting yang nelpon." Jelasnya singkat sembari menonaktifkan ponselnya.
"Orang sinting? Siapa?" Tanya Anita.
"Ada mah. Orang sinting. Nggak penting juga Alona jelasin, mending sekarang mama istirahat, Alona mau lanjutan kelarin revisi dulu. Bye mah." Ujarnya sebelum meninggalkan ibunya dan menghilang di ujung tangga.
Sekian untuk part ini.. Selamat menikmati 😘🤓
Jangan lupa vote dan komen
Love
Miss One
🤗😘🤓
KAMU SEDANG MEMBACA
Still The Same
RomanceWARNING!! Adults Only! Terdapat banyak kata-kata kasar dan adegan kekerasan! Mohon bijaklah memilih bacaan. ** Ketika kau dikhianati oleh dua orang yang kau percaya sekaligus, orang yang dipercaya sebagai cinta pertamamu dan seseorang yang kau yaki...