26

4.3K 448 33
                                    


Aleeza duduk terdiam di tempat duduknya, suasana restoran yang tenang tidak membuatnya ikut tenang. Gadis itu justru tak nyaman dan segera ingin keluar dari tempat itu. Sejak mereka masuk restoran itu dari 15 menit yang lalu Aleeza tidak sama sekali berbicara, Damian sampai kebingungan bagaimana harus membuat putrinya itu membuka suaranya.

"Dek makanannya gak dimakan?" Ini kali ke dua Damian menanyakan pertanyaan yang sama.

"Gak lapar. Sebenarnya anda mau bicara apa? Kalau tidak ada hal penting saya pulang sekarang. Mama dan kakak saya bisa kawatir kalau saya belum balik juga." Karena sudah tak tahan dengan situasinya, pada akhirnya Aleeza mau bicara. Gadis itu menatap serius pada ayahnya, berharap pria itu bisa melihat ketidaksukaan Aleeza padanya.

"Ayah akan antar kamu pulang, tapi mohon kasih ayah waktu sebentar untuk bicara."

"Kalau memang anda ingin bicara, ya bicara. Saya sudah kasih kesempatan sejak tadi, tolong jangan buang waktu saya untuk hal yang tidak perlu." Ucap Aleeza marah, gadis itu nampak sangat kesal dan hal itu membuat Damian kecewa. Padahal ia berharap gadis bungsunya akan sedikit melunak padanya, tidak keras seperti putri sulungnya.

"Apa begitu jijik kamu dekat sama ayah nak? Apa ayah sudah tidak pantas untuk ada di dekat kalian lagi?" Damian bertanya dengan sedih, wajahnya berubah muram menatap Aleeza senduh.

Aleeza tak berani menatap ayahnya itu, jujur saja jika dibandingkan Alona ia masih memiliki rindu untuk ayahnya. Biar bagaimanapun ia menyayanginya. Pria itu pernah ada di hari bahagia dan dukanya walau pada akhirnya pria itu lebih banyak menanam duka ia tetap menyimpan sedikit tempat di hatinya untuk ayahnya. Itu sebabnya ia tak nyaman berada di dekat ayahnya, ia takut akan luluh dengan mudah.

Liat saja sekarang, dia sudah mulai merasakan kesedihan untuk ayahnya bahkan sejak tadi saat ia pertama melihat ayahnya muncul di depan sekolahnya dengan keadaan wajah kusut dan tumbuh yang lebih kurus, ia sudah mulai merasa khawatir.

"Ayah rindu kalian, rasanya setiap hari sejak ayah kehilangan jejak kalian ayah dikutuk dengan perasaan kesepian dan penyesalan. Hidup ayah sudah berbeda nak, ayah salah dan ayah bodoh mau menukar kebahagian ayah dengan napsu. Mohon maafkan ayah, biarkan ayah menebus kesalahan yang ayah perbuat. Mohon beri ayah kesempatan." Ucapnya yang membuat Aleeza semakin merasa tak karuan. Ia tidak seperti Alona yang mampu mengatakan hal-hal yang sadis pada ayahnya, dan sekarang ia bingung harus bagaimana.

Perilaku Damian selanjutnya justru membuat gadis itu semakin merasa ibah, karena dengan tiba-tiba Damian berdiri dari tempatnya dan tanpa mempedulikan orang-orang yang berada di restoran yang sama dengan mereka, pria itu berlutut dengan kepala tertunduk di samping kursi Aleeza.  Gadis itu semakin panik dan dengan spontan berdiri. "Tolong jangan lakukan ini, kenapa anda berlutut?" Ucapnya sembari ikut menunduk menarik tangan Damian agar kembali berdiri, namun dengan keras kepala pria itu tetap dengan posisinya.

"Biarkan ayah lakukan ini. Biarkan ayah memohon, biarkan ayah melakukan hal yang tidak seberapa dengan perasaan kalian yang sudah ayah hancurkan. Biarkan ayah merendah seperti ini asalkan kalian jangan menjauh dan mengusir ayah. Ayah salah, ayah bodoh. Sudah sepantasnya ayah seperti ini. Maafkan ayah nak. Maaf." Damina berucap dengan air mata yang sudah mulai turun melewati jawahnya, sementara Aleeza terpaku karena untuk pertama kalinya melihat ayah menangis dan merendah seperti ini di hadapannya.

Ia tak sanggup berkata-kata, ia membisu,  Aleeza hanya bisa menatap ayahnya tanpa mampu membalas ucapannya.

"Nak maafkan ayah ya.. Ayah mohon. Ayah akan lakukan apa pun untuk bisa mengembalikan kita seperti dulu, apapun nak." Aleeza menegakan tubuhnya, menatap ayahnya dengan perasaan tak nyaman. Ia sedih melihat ayahnya seperti ini namun juga masih tak sanggup melupakan apa yang ayahnya perbuat dahulu. Namun melihat ayahnya memohon seperti ini dengan keadaan diri yang terlihat berantakan dan mata yang dipenuhi air mata, membuat Aleeza tak sanggup untuk membeci ayahnya semakin lama. Hatinya lembut persis ibunya, walau sikapnya lebih terlihat seperti ayahnya, sesungguhnya Aleeza lebih seperti ibunya yang lembut dan penuh belas kasih.

Still The SameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang