8

5.2K 468 20
                                    

Pagi ini Alona bangun dengan perasaan yang sangat buruk, setelah bertahun-tahun berlalu dia harus kembali mengalami perasaan seperti ini.

Semalam ia tidur sangat larut, memikirkan pertemuan adiknya dengan pria penghianat itu--yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Rasanya ia ingin memaki mereka karena berani muncul di hadapan Aleeza, kalau ia berada di sana saat pria itu memaksa bertemu, Alona akan pastikan tidak ada pertemuan sama sekali.

Alhasil sejak pagi tadi Alona menjadi tidak banyak bicara, hanya terdiam tanpa berhenti memikirkan kejadian semalam. Anita--ibunya dan Aleeza hanya bisa saling menatap kawatir padanya tanpa bisa mengajaknya bicara, karena mereka hafal bagaimana Alona tidak ingin diganggu ketika sedang terdiam karena memendam kemarahan.

"Lo kenapa si? Dari tadi gue perhatiin pikiran dan nyawa lo kayak nggak nyatu sama tubuh lo? diajak ngomong nggak nyahut, ditanya nggak dijawab, aura lo kayak mendung banget tau nggak? Ada apa si sebenarnya?" Lia yang sejak tadi sudah tak tahan dengan tingkah Alona akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, sesunggunya dia enggan karena sadar betul bagaimana suasana hati Alona, tapi dia sudah tak bisa tahan, ia merasa seperti diikuti hantu sejak tadi karena keberadaan serta aura yang dimiliki Alona membuatnya merinding.

Alona terdiam, hanya melirik Lia sebentar tanpa menjawab pertanyaannya, dia tidak merasa Lia berkewajiban mengetahui isi hatinya.

"Ya ampun Al! Sumpah deh ya, gue udah nggak tahan sama tingka lo tau nggak, dari tadi gue berasa diikutin hantu gegara aura lo yang nggak banget. Tell me deh ya.. Ada apa sebenernya?" Dengan gemas Lia masih memaksa bertanya, sementara Ben yang juga duduk bersama mereka di taman kampus hanya bisa terdiam dengan rasa penasaran yang sama walau hanya bisa dia simpan dalam hati, karena sunggu, dia juga tak berani bertanya.

"Nggak ada apa-apa." Alona menjawab singkat sembari membuka lembar novelnya dengan tenang, walau sebenarnya isi novel itu sama sekali tidal masuk di otaknya dan hanya dijadikan aksesoris untuk melindunginya dari rasa ingin tahu sahabat-sahabatnya walau pada akhirnya hal itu sama sekali tak berguna.

Ben berdeham, mulai mempertimbangkan kata-kata yang pas untuk bertanya tanpa terlihat kepo.

"Lo sakit Al? Atau ada masalah di rumah?" Tanya Ben perlahan, dengan suara renda yang dibuat-buat.

Alona terdiam di tempatnya sebelum dengan pelan meletakan novelnya di pangkuannya dan beralih menatap kedua sahabatnya.

"Nothing. Harus berapa kali gue bilang kalau nggak ada apa pun yang terjadi. Kalau lo berdua merasa nggak nyaman di dekat gue saat ini, ya udah menyingkir, nggak ada yang nyuruh lo berdua buat ngikutin gue dari tadi." ucapnya dengan tenang menatap bergantian kedua sahabatnya tepat di mata ke duanya.

"Ya nggak gitu juga Al, kita sebagai sahabat kan jadinya kawatir sama lo, bukan ngerasa terganggu. Kalau lo lagi ada masalah ya cerita, jangan numpuk sendiri. Gue tau lo lagi ada masalah, tapi nggak mau bagi dan milih mendam sendiri." Lia masih bersikeras  bertanya, gadis itu tak mempedulikan tatapan dingin Alona yang menghunusnya.

"Kalian emang Sahabat gue, tapi bukan berarti lo berdua punya hak untuk tau apa pun mengenai gue, kita punya batasan dan gue nggak suka lo berdua melewati batasan itu." Balas Alona dingin, dia kesal dan tak menyukai sifat keras kepala Lia.

"Tapi Al.. "

"Udah Lia, nggak usah dilanjutin lagi." Akhirnya Ben memilih menghentikan Lia, dia tak ingin kedua gadis itu berakhir bertengkar dan tak saling bicara.

"Oke, kita hormati itu. Sorry buat bikin lo nggak nyaman sama pertanyaan kita yang berkesan kepo dan melanggar privasi lo. Tapi lo harus tau  Al, kita sebagai sahabat bukan cuman aksesoris. Kita bisa dengar apa pun dari lo, bisa dijadiin tempat berbagi. Tapi kita nggak akan maksa, kalau lo milih buat nyimpan sendiri, fine. Kita nggak akan tanya lagi. Ini privasi lo, kita nggak akan maksa. " Ucap Ben pada akhirnya, pria itu akan selalu datang dengan kalimat bijaknya jika dibutuhkan, walau kadang Alona suka kesal dengan tingkah berlebihan Ben tapi ia tak memungkiri sikap dewasa pria itu adalah salah satu hal terbaik yang dimilikinya, dan bisa muncul kapan pun jika dibutuhkan, seperti saat ini.

Still The SameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang