🍃26

3.5K 242 13
                                    


Maapin apabila part ini terlalu melow⚠️😏

---ooo---

Dengan sangat terpaksa sekaligus berat hati, lagi, untuk yang ketiga kalinya Lia harus berbagi ranjang dengan Agatha. "Lo ngambek lagi?" sebuah pertanyaan meluncur dari bibir Agatha ketika inderanya berkali-kali mendengar helaan napas berat dari Lia.

"Enggak." Lia menjawab tanpa menoleh sedikitpun. Jemarinya sedang fokus menari-nari di sebuah ponsel pintar yang entah ia dapatkan dari mana. 

"Maafin nyokap gue ya," Lia terkesiap ketika merasakan sebuah tepukan ringan di bahunya. Gadis itupun meletakkan ponsel tersebut diatas nakas lalu berbalik menatap lurus pada Agatha.

"Ngapain minta maaf nyokap lo nggak ada buat salah sama sekali." terang Lia.

"Lo jadi harus nurutin perintah aneh-aneh dari nyokap gue. Lo yakin nggak marah sama sekali? Atau lo bisa bebas kok, tapi gue minta lo tetep berpura-pura kalau ke-" ucapan lelaki itu terpotong ketika Lia mengangkat kelima jarinya ke udara. Gadis itu terkekeh sesaat lalu menunduk, membuat Agatha meringis dan menatap Lia seolah orang yang mempunyai gangguan jiwa.

"Ada beberapa hal yang enggak gue milikin di dunia ini, Ga. Salah satunya adalah kasih sayang seorang ibu. Gue malah seneng nyokap lo bersikap seakan-akan gue ini anaknya." tutur gadis itu tiba-tiba. Agatha hanya menyimak disana, ini adalah pertama kali Lia mengulik kisah hidupnya. Kemarin mereka bercerita banyak walau Lia lebih memilih menjadi pendengar saja. Gadis itu tidak mau menceritakan apapun, padahal Agatha dengan mudahnya berbicara mengenai banyak hal yang mungkin seharusnya menjadi privasi keluarga.

Ia tidak takut apabila nantinya Lia berniat jahat dengan mengunakan hal itu, dinasti-nya bukan lagi di ambang kehancuran, tetapi sudah dilebur habis dan tak bersisa. Yang Agatha perlukan saat ini hanya melepas seluruh beban dan emosinya. Bagaimana tidak, ia baru berusia belasan tahun, tidak tahu apa itu bisnis dan hanya bisa menerima keadaan bahwa yang sudah di bangun selama puluhan tahun oleh keluarganya hilang dalam sekejap karena ia yang tidak bisa berbuat apapun.

Agatha mengaku pada Lia bahwa dirinya bodoh, hanya tahu cara menghamburkan uang, dan naif. Ia tidak bisa menyelamatkan apapun termasuk tempat tinggalnya sendiri. Laki-laki macam apa dirinya yang bahkan tidak bisa melindungi satu-satunya permata yang ia miliki. Ibunya sampai jatuh sakit karena masalah itu. "Disaat gue menghamburkan uang buat check in di penthouse mahal, nyokap gue berjuang mati-matian atas haknya disini. Gue enggak berguna sama sekali jadi anak."

"Gue cuma tau menikmati hasil tanpa pikir panjang, gue seharusnya bisa nabung atas nama gue sendiri atau bahkan punya aset sendiri, tapi nyatanya gue yang bodoh ini enggak pernah mikir sampai kesitu dulu. Gue dibutakan semua yang selalu instant, semua kemewahan ini yang nyatanya hanya fana."

"Dan saat semuanya ditarik, gue nggak punya apa-apa lagi, Ya. Bahkan gue nggak bisa ngelindungi nyokap gue sendiri." Lelaki itu menangis, air matanya meluncur saat merasakan sentuhan ringan diatas punggungnya.


"Lo boleh sedih, lo boleh terpuruk untuk saat ini, Ga. Tapi gue minta lo jangan pernah menyerah sama takdir. Lo masih punya sesuatu untuk di perjuangkan." Agatha menoleh dengan muka penuh bekas air mata kearahnya.

Lelaki itu menggeleng kuat, "Gue udah nggak punya apapun lagi, Ya. Semuanya udah habis nggak bersisa. I feel useless right now." tuturnya parau. Bukan Lia saja yang kehilangan arah, Agatha juga. Lelaki itu pasti sangat tertekan dengan masalah besar yang belum bisa ia temukan solusinya. Kehilangan hal besar memang membuat seseorang melupakan hal kecil lain yang mungkin lebih berharga dari apapun.

FLOW : Everything Has ChangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang