Gimme 150 votes for next part
Milan, Itally.
Seventeen years ago.
Bocah delapan tahunan itu berlari tergesa-gesa karena sebelah tangannya ditarik oleh sang ayah. "Ayo cepat sedikit son, apa kamu tidak ingin segera melihat adikmu?"
"Tapi aku lelah, Pa!" gerutu sang anak lantaran ayah kandungnya enggan mengerti juga akan kepenatannya.
Sudah sejak tiga hari yang lalu mereka tiba di Milan, namun rencana liburan yang telah disusun matang-matang menjadi berantakan dan sia-sia lantaran ibu kandungnya tiba-tiba jatuh sakit karena disebabkan oleh perut buncitnya.
Kegiatannya selama diluar negeri hanya seperti pindah ranjang saja, selebihnya bolak-balik ke rumah sakit untuk mengunjungi ibunya. Sangat membosankan, jika tahu begini ia lebih memilih untuk main game saja di rumah.
"Bagaimana keadannya?" tanya pria itu kepada tiga orang yang sudah berada disana lebih dulu.
"Istri bapak masih di ruang operasi," kata salah satu asisten pribadinya.
"Ya Tuhan.. tolong selamatkan istri dan calon putriku," gumamnya sambil membelai surai hitam putranya.
"Mama kenapa, Pa?" lirih bocah itu dengan suara parau. Netranya pun berkaca-kaca saat tahu bila kondisi ibunya sedang tidak baik-baik saja.
"Mama sedang berjuang di dalam sana, Son. Kamu doakan mama ya?"
Dengan polos, bocah itu mengangguk meski perasaannya begitu takut akan kehilangan sang mama.
Kondisi ibunya sejak hamil memang cenderung memburuk karena janinnya yang lemah sejak memasuki bulan keempat. Dokter sudah menyarankan untuk menggugurkan janin itu demi kebaikan sang ibu dan untuk menghindari adanya kecacatan atau penyakit bawaan yang akan di derita oleh calon bayi nantinya. Namun, sang ibu menolaknya mentah-mentah, ia memilih mempertahankan janinnya lantaran sudah terlanjur mencintai calon putri mereka.
Kandungannya berhasil memasuki usia tujuh bulan, dan rupannya sang bayi sudah tidak sabar lagi untuk keluar dari dalam perut ibunya. Tepat pada saat keluarga itu tengah landing di Milan.
"Son, apa kamu tidak ingin melihat adikmu?" tanya sang ayah saat menyadari bahwa putranya masih setia berdiri di depan pintu masuk kamar inap sejak tadi.
Bocah itu menggeleng sambil mengerucutkan bibirnya lucu.
"Kenapa sayang?" kini sang ibu yang gantian bertanya.
"Aku tidak ingin adik," jawabnya singkat.
Mendengar itu, sang ayah pun menghampirinya lalu menuntun putranya kearah box bayi yang terletak di samping brangkar rumah sakit.
"Lihatlah, bukankah ia sangat menggemaskan?"
Bocah lelaki itu mendekat dengan ragu untuk melihat kedalam box bayi tersebut, netranya berkedip saat melihat bayi mungil yang masih terbungkus kain putih itu begitu rapuh dan sangat kecil, lantaran ia tidak pernah melihat bentuk bayi secara langsung sebelumnya. Sebelah tangannya pun terulur untuk menyentuh pipi gembul kemerahan si bayi. Dan bocah itupun terkejut saat adiknya merespon dengan geliatan lucu.
"Sepertinya dia mengenalimu," gumam sang ayah.
"Benarkah?" kini netra bocah itu berbinar seolah tertarik untuk mengenal adik yang tidak ia inginkan sebelumnya.
Sang ayah pun mengangguk.
"Aku harus memanggilnya apa? Dia harus punya nama bukan?" tanya bocah itu mengingat ia sendiri memiliki nama.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLOW : Everything Has Changed
Fiksi Remaja(17+) AGATHA RICHIE HILLARIO Berbekal kehidupan yang serba glamor dan tanpa peran seorang Ayah dalam hidupnya membuat dia menjadi siswa paling terpandang di Liberty High. Terpandang dalam artian buruk. Seperti sombong, penuh kekuasaan, dan pembully...