🍃65

1.5K 83 27
                                    

Keesokan harinya Lia terbangun di kamarnya sendiri. Ia pun sontak terkejut dan segera beranjak dari kasur lalu meneriaki nama Gabriel di lorong kamarnya.

Beberapa saat kemudian seseorang muncul. Bukan Gabriel melainkan ayahnya. Keningnya berkerut melihat ayahnya berada di rumah pada siang hari.

"Kamu kenapa, Sayang?" Blake menghampirinya dengan raut khawatir. "Badan kamu masih sakit?"

Lia menggeleng pelan lalu melontarkan pertanyaan yang ada di kepalanya sejak tadi. "Gabriel berjanji jika aku sudah istirahat seharian maka boleh menjenguk Agatha. Kenapa ia malah membawaku pulang di saat aku masih tidur?" ujar Lia menggebu-gebu. Napas mendadak terengah-engah seperti habis lari marathon padahal ia hanya mengucapkan sederet kalimat. Entah karena faktor ia sakit atau seluruh emosinya yang tengah memuncak. Ia sangat khawatir terhadap kondisi Agatha dan merasa ditipu oleh Gabriel karena diam-diam membawanya pulang.

"Gabriel dimana, Pa? Gabriel mana?" ujar Lia kembali saat Blake tak kunjung menjawab dan malahan merangkul pundaknya lalu berjalan kembali masuk kedalam kamarnya. Kemudian Blake membawa Lia duduk di atas ranjang.

"Tenang dulu, Sayang. Verone tidak ada dirumah. Papa memberinya tugas keluar. Dan yang membawamu kemari bukan Verone, melainkan papa sendiri," tutur Blake menjawab seluruh pertanyaan anak gadisnya. Tentunya membuat gadis itu makin bingung.

"Tapi...kenapa, Pa?"

"Diluar sana tidak aman. Kamu tahu kan Papa belum bisa mendapatkan informasi tentang siapa dalang dibalik semua ini," Blake menjawab dengan tenang lalu menatap putrinya dengan seksama sambil meraih kedua pundaknya. "Sebelum mereka tertangkap lebih baik kamu dirawat dirumah saja. Papa akan mendatangkan dokter setiap hari. Papa tidak ingin kecolongan lagi. Kamu sangat berharga untuk Papa, kamu tahu itu kan?"

Apa yang dikatakan oleh ayahnya memang benar namun Lia sedikit sangsi. Kenapa ayahnya tidak menunggunya hingga sadar? Dan kenapa ia tidur seperti mayat?

"Iya, Pa. Lia tahu," hanya itu yang mampu Lia sampaikan.

---ooo---

Sore harinya dokter benar-benar datang tepat jam tiga seperti pesan ayahnya.

Kata dokter kondisi Lia semakin membaik. Meski begitu dokter tetap memberikan vitamin dan penambah nafsu makan lantaran belakangan ia selalu mual saat berusaha menelan makanannya. Dokter memberi pesan jika ia tidak boleh stress, karena hal itulah yang menyebabkan kondisinya memburuk.

Dokter juga menyarankan jika ia bisa berbicara dengan psikolog apabila mengalami trauma pasca percobaan pembunuhan itu. Namun Lia rasa stressnya bukan datang dari situ, melainkan karena ia sangat khawatir dengan keadaan Agatha.

Ia tidak takut jika harus mati. Ia lebih takut lagi jika Agatha yang meninggalkannya lebih dulu. Membayangkannya saja sudah membuat Lia mual.

Setelah dokter itu pamit, Lia segera bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Namun saat mobilnya akan melewati gerbang, para pengawal yang berjaga disana menghadangnya. Lia sudah beberapa kali mengklakson namun mereka hanya membatu disana dan tidak terganggu sedikitpun dengan suara berisik klakson. Lia yang sudah memasang tampang cemberut pun turun dan hendak berbicara dengan dua pria itu namun lagi-lagi ayahnya datang mengagetkan Lia. Well, jadi ayahnya masih dirumah? Lia kira ia sudah pergi karena saat dokter datang tadi ayahnya tidak muncul.

"Papa," Lia tersenyum menyapa ayahnya.

"Kamu mau kemana?" tanya ayahnya setelah mengkode para pria kaku disana dan berangsur membuat Lia mengernyit karena mereka menutup rapat gerbang rumahnya.

"Ke rumah sakit sebentar, Pa."

"Tidak boleh."

"Tapi kenapa, Pa? Lia sudah sehat. Tadi dokter sendiri yang bicara."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 05, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FLOW : Everything Has ChangedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang