25: Chance

4.6K 442 46
                                    

“You say I’m crazy, 'cause you don't think I've known what you've done. But when you call me baby, I know I'm not the only one.”
—Sam Smith, I’m Not The Only One—

-

Sifra Lee

Dua minggu aku tidak bertemu dengan Jungkook paska berakhirnya hubungan kami berdua. Dia membawa anak-anaknya kembali ke Busan karena aku mengusirnya. Aku tidak berniat untuk melakukan itu, tapi hatiku sakit. Faktanya, Jungkook menemui mantan kekasihnya dibelakangku. Mereka bertemu. Dan Aera sepertinya masih berharap hubungan mereka berdua bisa kembali membaik.

Jungkook sepertinya juga tidak ada masalah dengan itu. Lantas, untuk apa aku masih bertahan? Aku tidak mau sakit hati seperti ini. Meski aku dan Jungkook—kami berdua menjalani hubungan tanpa adanya kata "cinta"—tapi aku yakin, aku merasakan hal itu padanya. Aku, kalau boleh jujur, memang menyukai Jungkook sejak awal pertemuan kami. Tapi, seiring berjalannya waktu, semakin aku memahaminya, aku semakin menyayanginya.

Ketika dia pada akhirnya mengatakan bahwa aku kekasihnya, aku senang berjuta-juta kali lipat—rasanya aku ingin berteriak kepada seluruh dunia agar tahu bahwa laki-laki sempurna bernama Jungkook adalah milikku.

Tapi aku seharusnya juga sadar. Jungkook mendekatiku dan melakukan semua yang dia lakukan kepadaku—hanya sekadar pelampiasan dari kesepiannya karena Aera pergi. Kini, wanita itu kembali, maka itu sebuah peringatan bagiku untuk menjauhi Jungkook.

Menjalani hidup dengan berusaha bersikap seperti tidak terjadi sesuatu selama dua minggu belakangan ini adalah hal paling menyakitkan yang pernah kulakukan. Pasalnya, tugas kuliahku semakin menumpuk karena aku tidak bisa fokus mengerjakannya, aku sakit hingga berat tubuhku menurun drastis, aku tidak nafsu makan, Jimin marah padaku, hubunganku dan Jungkook berakhir—lengkap sudah penderitaanku.

Kini, di kampus, aku mencoba memberanikan diri untuk menemui Jimin. Aku harus bertemu dengannya dan menyelesaikan permasalahan diantara kami. Aku tidak tahu apakah Jimin ingin bertemu denganku, tapi yang jelas, aku akan datang kepadanya.

Aku akan mencoba. Meski jika nantinya Jimin akan mengusirku pergi dari hadapannya. At least, I should try first.

Aku bertanya kepada teman-temannya yang berada dikoridor. Mereka mengatakan bahwa Jimin ada dikantin. Aku segera berlari menuju ke kantin untuk bertemu dengannya.

Benar saja. Jimin memang ada dikantin dan dia tengah fokus membaca sebuah buku dengan halaman yang begitu tebal. Aku menghampirinya dan duduk disebelahnya.

Kedatanganku membuat Jimin menoleh padaku. Aku memberikan senyum tipis yang canggung sembari menyapanya, “hai . . . Jimin,” sungguh, canggung sekali rasanya. Aku dan Jimin sebelumnya tidak pernah secanggung ini.

What do you want?”

I just want to talk.” Ujarku. “Tapi, jika kau tidak mau berbicara denganku, then it’s fine. I’ll leave—”

No.” Jimin menahan lenganku dan menarik tubuhku untuk duduk disebelahnya lagi. “Bicaralah apa yang ingin kau bicarakan kepadaku.” Ia pun menutup buku yang dibacanya, kemudian ia merubah posisinya menjadi berhadapan denganku.

Aku meneguk saliva. “Jim—”

“Aku minta maaf, Sifra,”

“Hah? Kenapa?”

“Aku sudah egois. Aku—aku dibutakan oleh amarahku yang meluap ketika lelaki itu mengatakan bahwa dia adalah kekasihmu. Aku hanya . . . tidak percaya. Kau bilang padaku bahwa kau mencintaiku, tapi kau berkencan dengannya.”

BABYSITTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang