Seulgi lari-larian keluar kampus. Dengan muka nggak nyante banget dia menerobos hujan yang turun deras seperti hari lalu. Padahal orang-orang di sekitarnya bergerak bagai slow motion.
Tak sampai lama, dia sudah tiba di halte yang tumben-tumbennya sore ini penuh sesak. Dia benar-benar terburu, ibunya akan berkunjung ke rumah. Tadi saat ibunya mendadak telepon, katanya sudah dalam perjalanan menuju rumah yang selama ditempati sendirian oleh Seulgi.
Seulgi nggak punya waktu lagi, karena kunci rumah ia bawa takutnya sang ibu akan menunggu kehujanan di luar. Dan untuk kesekian kali dalam hidupnya, dia kehujanan lagi.
Belum lagi saat dia sampai di halte, tak ada ruang untuknya berteduh. Seulgi sekali lagi menyesal. Jika saja manusia tidak dititipkan sifat teledor mungkin sekarang dia nggak basah kuyup gini.
Seulgi lupa meninggalkan payung pemberian Aru di loker karena saking buru-burunya. Jika saja tadi menyempatkan mampir ke loker mungkin dia nggak masalah berdiri sendirian tanpa atap halte.
Parahnya lagi, bus yang di tunggu terasa lama sampainya. Seulgi jadi menghela, sampai kata hati melintas untuk menghubungi Aru agar mau mengantarkannya sampai rumah. Tapi baru sepersekian detik dia langsung menggelengkan kepala.
Biarpun dia sudah berbaikan dengan Aru dan tak menjauhi lelaki itu, Tetap saja Seulgi masih punya pendirian untuk tidak bergantung terus pada Aru. Kini antara keras kepala dan gengsi memenuhi jalan pikir perempuan itu.
Dan saat akan menghela nafas yang kedua, Seulgi akhirnya bersyukur karena melihat lampu bus menyorot dari kejauhan. Langsung saja, dia melangkah ke depan halte agar dia yang pertama naik bus.
Baru saja bernafas lega, batin Seulgi kembali dirundung duka. Ban bus yang sedang melaju itu melewati genangan air yang berkubang tepat di depan halte. Alangkah naasnya kemeja yang Seulgi kenakan menjadi bernoda terciprat air bekas hujan.
"Aissh....ssggh," desis Seulgi tertahan. Inginnya mengumpat sekali, tapi karena beberapa orang menatapnya dia jadi takut dicap tak punya etika.
Akhirnya dengan berat hati, dia naik ke bus dengan sepatu yang keberatan air.
Belum sampai disana, bad timenya Seulgi berakhir. Karena nuraninya tak enak hati melihat perempuan paruh baya yang susah berdiri dengan banyak belanjaan, akhirnya dia menyerahkan tempat duduknya.
Sambil tersenyum dia bertukar posisi menjadi berdiri, dan membiarkan si ibu duduk di satu-satunya kursi yang tersisa itu.
Seulgi tersenyum prihatin, dia teringat kakak lelakinya. Dialah yang mengajarkan Seulgi untuk selalu berbagi kepada orang lain yang kesusahan. Seulgi ingin menangis saja rasanya.
Andai saja kakaknya itu masih dapat menemaninya setiap hari. Mungkin Seulgi tak terlalu sesedih ini berdiri di bus sendirian.
Tapi sekarang mungkin kakaknya sudah mendapat hari-hari yang jauh lebih baik disana.
.....................
Seulgi bolak-balik mengulang dialognya di atas panggung. Sesekali terdengar batuk saat ia melafalkannya. Ini sungguhan, karena sepertinya dia akan terserang flu tak lama lagi.
"Gi, you ok?" teriak Wendy dari bawah panggung.
"I'am ok," balas Seulgi.
"Serius?"
Seulgi mengangguk, lalu dicobanya lagi membaca dialog. Tapi pita suaranya benar-benar seperti terendam banjir. Suaranya nggak jelas karena tenggorokkannya sedikit sakit saat berucap.
"Gi, sini!" panggil Wendy lagi.
Seulgi mendekat ke tepi panggung tepat dimana Wendy mengulurkan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AIR
FanfictionAru bagi Ugi, ataupun sebaliknya itu seperti udara. Selalu ada. Lee Seung Hoon x Kang Seulgi