quarrel

2.9K 195 33
                                    

Vino memandang gelas kopi dalam genggamannya, sembari menerka jenis dan kualitas kopi yang diberikan oleh teman sesama alumni di kampusnya terdahulu. Setidaknya aktivitas ini mampu menghilangkan kecanggungannya dalam menunggu namanya dipanggil dari ruang interview.

Jakarta pagi hari, masih sama seperti dulu. Berkabut, mirip San Fransisco di pagi hari. Namun sayangnya, kabut yang menutupi jendela-jendela Gedung tinggi ini bukanlah kabut hasil dari uap air yang berkondensasi menyerupai awan, melainkan kabut asap kendaraan yang semakin hari semakin memperparah udara di Jakarta.

Berangkat dari Bandung menuju Jakarta tanpa sedikitpun ambisi. Hanya mencoba memuaskan rasa penasaran untuk menjadi salah satu awardee beasiswa sebuah perusahaan luar negeri yang diimpikan hampir semua orang. Namun sejujurnya bukan itu yang Vino cari. Melainkan kesempatan untuk magang diperusahaan tersebut yang menjadi incaran utamanya. Setelah gagal dengan setumpuk lamaran ketika dirinya di Swiss, Vino ingin mencoba peruntungannya sekali lagi.

Vino memandang layar handphone dimana fotonya bersama Shani terpampang bahagia. Teringat akan pembicaraan terakhir mereka minggu lalu, saat untuk pertama kalinya mereka membicarakan masa depan.

Menikah dengan Shani. Setiap pikiran itu terlintas di benak Vino, dadanya serasa melompat tidak terkontrol membayangkan kemungkinan itu. Siapa yang tidak bermimpi menjadikan Shani sebagai pendamping sehidup semati? Tapi entah mengapa, keberanian itu seakan menguap seperti panas kopi yang saat ini masih dalam genggamannya.

Sempurna seorang Shani akan menjadi tidak sempurna saat memilih Vino menjadi suaminya. Keyakinan itulah yang membuat Vino, di umurnya yang baru saja melampaui seperempat abad, mengalami quarter life crisis dimana dirinya mulai insecure dengan ability nya untuk membuat Shani bahagia.

***

"Ok, photo session done. 30 menit balik lagi ya, lanjut wawancara. Terima kasih."

Shani menghela nafas lega saat akhirnya sesi fotonya berakhir. Dia segera mengambil handphone dan melihat 2 panggilan tidak terjawab dari kekasihnya. Shani tersenyum pelan. Vino sangat jarang menghubunginya, terlebih di waktu kerja. Mungkin karena mereka bukan lagi pasangan anak SMA atau kuliahan yang harus selalu bersama. Tanpa ragu Shani menekan tombol dial sembari meneguk infus water yang selalu dibawanya.

"Halo Shan"

Mendengar suara Vino seketika membangkitkan rasa rindu Shani kepada kekasihnya.

"Iya Ka. Kenapa nelp? Kangen ya?"

"Iya. Kangen kamu, sibuk ya?"

"Ini lagi break syuting. Kamu lagi apa? Udah makan?"

"Hmm, ini aku mau ngajak kamu makan. Aku lagi di Jakarta nih, bisa ketemu?"

"Hah? Di Jakarta? Kok ga bilang?" Shani segera merubah panggilannya menjadi panggilan video, dan tidak lama layar handphone nya memperlihatkan Vino tengah berjalan memasuki stasiun MRT.

"Iya aku tadi pagi ada urusan. Kamu bisa nemenin aku makan siang?"

Shani memperlihatkan wajah kecewanya. Jujur saat ini juga dirinya sangat ingin kabur untuk menemui kekasihnya yang sedang ada di Jakarta. Tidak perlu menunggu senin malam untuk bertemu. Namun life is about professionalism. Dia tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya hanya untuk bertemu Vino.

"I really want. Tapi aku masih ada kegiatan di PIK. See you on tonight?"

"Kayaknya kalau malem aku udah balik ke Bandung deh Shan."

"Would you stay over at my apartment tonight, we can go out for dinner, go to cinema or staycation, please?"

.

To The Imperfect You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang