Shani tahu, adalah sebuah kesalahan jika ia mendiami suaminya lagi. Tapi entah kenapa kata-kata dokter Eka begitu menyita pikirannya.
Mungkin memang ini akan jauh lebih mudah jika mereka bersama-sama.
Mempunyai anak dalam kondisi PCOS saja sudah susah, di tambah saat ini mereka menjalani Long Distance Marriage.
Shani merasakan pergerakan di ujung sisi tempat tidur disebelahnya, namun terlalu malas untuk memberikan perhatian pada Vino. Tidak bisakah Vino sedikit saja bersikap seakan dia juga menginginkan anak dari rahim Shani?
"Vitaminnya udah diminum Sayang?"
"Udah"
Harus diakui, Vino adalah orang yang pantang menyerah. Setelah didiamkan Shani sejak perdebatan tadi, lelaki itu masih saja baik padanya. Setidaknya berusaha mengajak Shani bicara. Vino yang biasanya pendiam jadi terlalu cerewet malam ini. Membahas Coffee Story, menawarkan untuk mengantarnya ke lokasi syuting, bahkan membahas Olio yang sepertinya sedang menyukai kucing tetangga, Cosmo.
"Bekas suntikan hcg nya tadi masih sakit ga? Perlu aku ambilin es buat kompres?"
"Gausah, harus biasain juga kan nanti bakal sering"
Vino memandang punggung Shani yang menjadi fokus pandangannya sedari tadi. Istrinya masih tidak mau dekat-dekat dengannya. Bahkan sekadar disentuh Vino pun Shani menolak.
"Shan, masalah kuliahku-"
"Ka, aku capek banget. Aku lagi ga pengen debatin apapun. Jadi tolong kasi aku istirahat"
Vino menghembuskan nafas kecewa. Perpaduan Shani yang sensitif dengan suntik hormon benar-benar sebuah ujian. Sepertinya usaha apapun untuk membujuk Shani hari ini tidak akan berhasil.
"Tidur yang nyenyak ya By, I love you" dengan cepat ia mencium puncak kepala Shani, sebelum gadis itu menolak. Dan akhirnya, Vino membaringkan tubuhnya di sebelah Shani. Mungkin besok mood Shani akan membaik.
Tapi nyatanya sampai jam 3 pagi Vino tidak bisa memejamkan matanya. Tidurnya gelisah. Selain karena Shani masih betah menempati sisi tempat tidur tanpa mau menoleh ke arahnya, pikiran Vino saat ini dipenuhi keputusan sulit yang harus dia ambil.
Vino
Seseorang pasti punya mimpi dalam hidupnya. Seperti Shani yang begitu memimpikan menjadi entertainer, mulai dari gadis sampul, JKT48, hingga menjadi artis seperti sekarang, adalah mimpi istriku yang diwujudkannya dengan tidak mudah.
Tidak terkecuali aku. Aku punya mimpi yang mungkin terkesan aneh jika didengar oleh orang-orang, tapi entah kenapa aku begitu menginginkannya.
Bermula dari sebuah tayangan Film The Social Network, film yang rilis ketika aku masih SMA itu membuat seorang Vino yang sebelumnya tanpa mimpi menjadi begitu tergila-gila dengan dunia komputer. Bukan semata karena kekayaan dan kepopuleran Mark Zuckerberg. Tapi bagaimana dia bisa menciptakan hal besar berawal dari coretan algoritma di jendela asramanya.
Sejak itu aku ingin mengambil jurusan komputer. Dan sejujurnya Harvard adalah kampus impianku. Ketika menjadi awardee beasiswa pemerintah di salah satu Institut Teknologi peringkat 6 dunia di Swis saja impianku tentang Harvard belum padam. Aku benar-benar ingin melanjutkan studiku di sana. Mimpi yang tidak pernah aku sampaikan kepada siapapun, kecuali Shani. Dia tau tentu saja, tapi karena aku selalu menyampaikannya tanpa menggebu-gebu, mungkin istriku tidak menyadari bahwa setiap malam aku selalu berlatih menulis essay agar mendapat selembar letter of acceptance dari kampus itu.
Walau orang sering mengejekku, untuk apa memamerkan gelar begitu banyak namun ujung-ujungnya bekerja di kedai kopi, tapi bagiku itu adalah pencapaian tersendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
To The Imperfect You [END]
FanfictionShani Indira Natio, Indonesia Next top Artist, model favorit Vogue, salah satu model Next Face Asia, Brand Ambassador make up ternama untuk Indonesia dan baru-baru ini merambah ke dunia cinema mengejutkan dunia dengan unggahan dalam akun Instagram p...