baby program

2.7K 194 211
                                    

Dalam mobil diperjalanan menuju Jakarta, Shani berkali-kali melirik sang suami yang daritadi terdiam seperti memikirkan sesuatu. Dan Shani sudah pasti tau apa yang ada dipikiran Vino. No one else than Caca.

Untuk kesekian kalinya Shani menghembuskan nafas lelah. Bahkan tanpa kehadiran Caca pun ternyata gadis itu bisa menjauhkan Vino darinya.

"Sayang kalau ngantuk gapapa ko kalau mau tidur."

"Aku ga ngantuk ko"

"Abisnya diem aja. Aku kira kamu ngantuk"

Diem aja? Tidak sadarkah Vino bahwa yang lebih banyak diam itu dirinya?

"Kamu yang dari tadi diem terus. Kepikiran Caca?"

Melihat Vino yang masih diam, Shani akhirnya tidak tahan lagi. "Mas aku ga suka ya kamu selalu diem kalo ada masalah!"

Ini adalah kali pertama Shani membentak Vino, dan sejujurnya ia sangat menyesali hal itu. Vino sekalipun tidak pernah berkata keras padanya. Lelaki itu sangat Jogja sekali.

"Engga yang, aku cuma khawatir sama Caca"

"Boleh ga aku cemburu sekarang? Kamu perhatian sama Cacanya kelewatan tau"

"By-"

"Apa? Emang bener kan. Apa-apa Caca. Aku kasi Cake Jar kamu kasi Caca. Kamu bahkan asik banget sama dia."

"Kamu bilang kamu ga akan cemburu sama dia"

"Iya tapi bukan berarti aku ga bisa cemburu liat kalian. Sadar ga sih Mas kamu, kalo Caca suka kamu?"

"Aku cuma anggep Caca adik."

"But she doesn't!"

Mereka sama-sama terdiam. Ini mungkin adalah pertengkaran pertama sejak mereka menikah. Selama ini, perdebatan mereka biasanya dikarenakan rasa rindu yang tak bisa tersampaikan, atau masalah jarak yang kadang membuat sendu.

"I know you don't love her. But I get jealous. Aku iri sama perhatian kamu sama dia. Kamu tau ga rasanya? Kaya berbagi hal yang kamu ingin miliki sendiri ke orang lain. Ga rela, gamau. Dan kamu udah tau sendiri, aku orangnya ga suka berbagi."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Shani keluar dari mobil yang sudah terparkir di depan rumahnya dan langsung masuk ke dalam. Membiarkan Vino membuka sendiri pintu pagar dan membawa barang-barangnya. Shani marah, itu adalah hal terakhir yang ingin Vino hadapi saat ini.

Begitu Vino selesai mengunci pintu pagar dan mematikan beberapa lampu di ruang tengah, ia segera menyusul sang istri ke dalam kamar. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Shani di ruangan itu, namun terdengar suara air mengalir yang membuat Vino berasumsi jika istrinya sedang membersihkan diri.

Vino melirik jam tangannya. Pukul 10.20... Biasanya, jika Vino belum mandi Shani akan marah-marah dan saat ini kemarahan Shani benar-benar sangat ia hindari. Maka selanjutnya, ia memilih untuk mandi di toilet yang ada di salah satu kamar di lantai 2 juga, yang sebelumnya mereka rencanakan untuk menjadi kamar anak.

Shani ternyata sudah berbaring di tempat tidur dengan posisi memunggunginya ketika Vino baru selesai mandi dan mengeringkan tubuhnya. Semua lampu telah padam, menyisakan lampu tidur di nakas sebelum Vino.

Sang istri sebenarnya masih terjaga. Bahkan saat tangan Vino merengkuh tubuhnya dari belakang, melingkarkan lengan kekar itu di tubuhnya, Shani dapat merasakannya. Namun ia memilih diam dan tidak merespon ketika Vino menciumi tengkuk juga pundaknya. Shani baru bereaksi saat tangan Vino merogoh masuk ke dalam piyama tidurnya. Ia langsung menggenggam tangan sang suami agar tidak bergerak semakin ke atas.

To The Imperfect You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang