25

1.2K 272 74
                                    


"Winwin-ssi?" Geunmin berteriak. Sungguh ia berteriak. Meski dalam batin yang tak dapat bersuara.
Ia melebarkan mata sembabnya, menoleh cepat ke arah belakang. Dilihatnya Winwin sudah berada di dalam kamar dengan mangkuk yang sudah pecah tak berbentuk. Laki-laki itu terlihat meringkuk sejenak untuk menahan perihnya sayatan berdarah pada beberapa telapak tangannya. Kemudian tak lama berusaha memungut serpihan mangkuk yang berkeping.

Geunmin bangkit secepat kilat lalu berlalu meninggalkan balkon untuk kemudian menghampiri sosok yang sedang membuatnya ketakutan akan perilakunya itu. Namun langkahnya melambat sesaat setalah menjadi lebih dekat. Bingung harus memulai dari mana.

Untuk mengeluarkan sebuah kata pun Geunmin belum mampu. Kecanggungan atas kejadian sebelumnya masih belum hilang sepenuhnya. Hanya hening yang menyelimuti ruang kamar itu.

Winwin berhenti pada pertengahan geraknya. Sorot matanya tampak menahan sesuatu. Pupilnya menyempit.

Sedang Geunmin hanya mematung dan menatap gemetar.
"W-winwin-ssi..." Ucapnya pelan berbisik. Pelan sekali seolah tak tau ucapan panggilan itu sesungguhnya bermakna apa.

Winwin menghela nafas sembari menatap dalam netra Geunmin, tangannya yang sibuk memungut serpihan mangkuk terlihat mulai terhenti, lalu sedetik kemudian menjatuhkan tubuhnya dan terpejam.











Geunmin mengkerut, mulutnya terbuka. Tatapannya bergetar. Memandang tubuh tergelatak Winwin dengan nanar.

"W-winwin-ssi.."

Dengan mata yang berkaca Geunmin mendekat, meraih kerah baju milik Winwin untuk digoyangkannya.
Menggoyang goyangkan tubuh itu, ada setitik air mata yang jatuh, menetes menembus ke dalam baju terdalam Winwin. Geunmin terus menangis diam, hanya tangannya yang bicara. Tangannya yang tak henti menepuk dada bidang itu, seolah memaksa agar sang pemiliknya terbangun.

Ditengah kacaunya suasana itu, Geunmin dapat mendengar sesuatu berbunyi dari nakas terdekatnya. Itu ponsel milik Winwin.

Tanpa pikir panjang Geunmin meraihnya. Untuk sejenak ia melihat nama yang tertera.

Choi Nana

Klik.

"Hei, Winwin-ah, bisakah kau-"

"Ssssslrt"

"H-halo..?"

"Ssssslrt"

" Hei siapa disana? Kau sedang menangis?

" H-halo.. i-ini dengan is-"
"B-bisakah anda menemui Winwin-ssi di rumahnya saat ini? Winwin-ssi pingsan dan saya tidak bisa mengendarai mobil"

"......"

"Saya mohon, Choi Nana-ssi.."

Tut.. Tut.. Tut..

Sambungan telepon terputus, namun tak lama masuk sebuah pesan dari nama yang sama.

"Maaf, saya terlalu terkejut. Tunggulah, bi. Saya akan kesana"

































"Aku Choi Nana, teman dekatnya"

Keluar dari ruang dokter, Geunmin dan Nana menyusuri koridor rumah sakit di sisi kiri yang cukup lengang. Choi Nana mulai bercakap, berusaha menjelaskan keadaan Winwin kepada Geunmin yang terlihat begitu cemas setelah menunggu beberapa saat percakapan Nana dengan dokter di dalam sana yang tak Geunmin ketahui. Jangan bertanya perihal ini, sebab memang Nana yang dianggap lebih dekat dengan Winwin, sedang Geunmin menjadi pihak luar yang hanya boleh duduk diam menunggu kabar dengan cemas. Seolah ia tak memiliki hak untuk tau lebih dalam, seolah ia adalah orang lain yang jauh, seolah ia hanyalah sekedar 'Bibi'. Mungkin memang hanya semesta yang tau, bahwa seharusnya Geunmin menjadi orang pertama yang mengetahui apa-apa tentang Winwin.

Blue and Orange Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang