2

3.1K 526 43
                                    

"Belum ada"

"Kalau kau tidak mencari ya tidak akan ada" Ujar winwin datar.

"Hei, aku mencari. Tapi belum ada"

"Tapi aku ingin menemukan secepatnya"

Laki laki tampan dengan dimple super memikat itu menghela nafas. Ia rasa, teman dosennya ini adalah laki laki yang benar-benar keras kepala.
"Soal shawl?" Tanyanya.

"Masih ku simpan, tapi rajutan namanya sedikit pudar"

Winwin, dosen muda itu mungkin akan dianggap gila, sebab ia hanya tertarik pada satu wanita yang hingga kini belum ia temui lagi setelah sekian lama.

Dianggap gila bukan karena 'hanya tertarik pada satu wanita', tapi karena ia sampai melakukan hal rumit, seperti menikahi wanita dengan berbagai perjanjian konyol. Tapi hal itu bukan tanpa alasan. Ia harus menikah meski belum ingin menikah sebenarnya, sungguh.

Ia masih menunggu seseorang yang lain.

"Kalau begitu, bantulah, sebagaimana aku membantumu menyelesaikan penelitian"

" Hei.. bukankah aku selalu membantumu" Protes laki laki yang membawa serta buku buku kuliahnya ke kafe itu sembari menyeruput kopinya.

"Terserah kau saja, aku harus pergi. 30 menit lagi aku harus mengajar"
Ujarnya bohong. Sebab sebenarnya ia hanya ingin duduk duduk manis di perpustakaan kampus. Itu adalah hal favoritnya.









Winwin mulai mengendarai mobilnya menuju kampus. Tapi tiba tiba ada sesuatu yang aneh. Sesuatu apa, ia tidak tau, tapi nalurinya menginginkan stir mobil itu membawanya menuju rumah.

Dengan suasana hati yang sulit diartikan, laki laki itu melambatkan laju mobilnya, memberi ruang waktu untuk berpikir sejenak. Sebenarnya apa, apa yang menyebabkan perasaannya terasa waswas?

Stir dan rumah.

Rumah.

Rumah? Apa mungkin, ada sesuatu buruk terjadi di rumah? Apa mungkin Bibi shin? Atau... Geunmin?

Geunmin. Winwin dengan tanpa alasan memikirkan sosok perempuan itu. Tapi buru buru ia menggeleng gelengkan kepalanya cepat. Merasa tidak mungkin atas ikatan batin itu.

Kakinya kemudian mulai menginjak pedal gas untuk mempercepat lagi laju mobilnya. Tapi lagi lagi, ia merasa was-was, hatinya terdesak.

Tanpa pikir panjang, akhirnya ia melambatkan laju mobilnya—lagi. Kemudian menepi.

Mengambil ponselnya, Winwin kemudian mencari nama Geunmin pada kontak, membuka roomchat yang tanpa sadar telah tenggelam. Terakhir kali mereka berpesan lewat chat adalah sekitar tujuh belas hari yang lalu.

Dengan ragu ragu winwin mulai mengetik. Namun tangannya terhenti ketika tampilan keyboard itu sudah muncul. Sebab, yang jadi masalah adalah, Winwin harus mengetik apa?

Apakah ia harus menulis frontal 'kamu tidak apa-apa?' atau 'apa terjadi sesuatu padamu?'

Itu mustahil. Chat semacam itu tidak ada dalam kamus hidupnya—bersama Geunmin. Gengsi mengalahkan segalanya. Tapi daripada menanyakan keadaan dengan mengirim pesan chat, ia akhirnya memilih untuk benar benar pulang.

Winwin memutar arah mobilnya, kemudian mengendari mobilnya dengan laju cepat.

                                  ~

Dengan degup jantung yang entah mengapa mempercepat temponya, winwin menuruni mobilnya, mulai memasuki pintu ruang tamu dengan perlahan. Berniat mencari sosok perempuan itu dengan sembunyi sembunyi, namun begitu masuk, ia sudah disambut oleh penampakan obat obatan yang dikeluarkan dari kotaknya.
Perempuan itu ada disitu. Sedang berusaha menggunting gulungan perban untuk dipotong lebih kecil.

Ah, ternyata firasat itu benar adanya?

Winwin sempat kaget. Aksi sembunyi sembunyi nya gagal.
Kemudian ia diam sebentar. Meneliti hal apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan di depannya.

"Winwin-ssi?"

"Apa yang terjadi padamu?" Tanyanya dengan raut wajah acuh-yang padahal jantungnya hampir copot untuk menunggu jawabannya.

"Ah, ini hanya, teriris" katanya.

Teriris? Jadi sesuatu yang mengganjal itu hanya perkara teriris?

Ada rasa lega bercampur kesal muncul dalam dadanya.

Lega karena tidak ada hal buruk yang cukup serius terjadi pada perempuan itu. Dan kesal karena,
Mengapa harus ada perasaan lega?
Bukankah perasaan semacam itu tidak seharusnya ada?

Winwin kesal pada dirinya sendiri, tapi ia harus menerima kenyataan bahwa ia memang khawatir. Dan soal firasat dan rasa, itu disebabkan oleh ikatan batin antara Ayah dan Anak.
Ya, setidaknya teori itu membuatnya sedikit lega.
Ia tidak sedang salah sangka pada perasaanya.

"Bagaimana bisa teriris?" Tanya Winwin sedikit meninggi.

"Ah, tadi saya membantu Bibi Shin memasak, tapi tidak sengaja pisaunya meleset" Seperti biasa, perempuan itu berucap sopan, matanya tak pernah gagal untuk tidak menatap lawan bicaranya itu.

"Tapi anda tidak perlu khawatir, semuanya sudah baik baik saja" Lanjutnya yang ternyata sudah selesai pada pengobatannya. Selesai membereskan kotak obat, kemudian Geunmin beranjak, berniat untuk mengembalikan kotak obat pada tempat semula.

Belum juga memulai langkah, Geunmin tersandung kaki meja ruang tamu yang dipakainya untuk menaruh kotak obat.

Bruk! Prak!!

Kotak obat itu jatuh dan terbuka hingga obat obat di dalamnya menyebar keluar.

"Ah" Geunmin meremas lututnya keras keras sebagai pertahanan diri. Matanya terpejam. Menyiratkan bahwa kakinya memang benar sakit.

"Geunmin-ah!"

Melihat perempuan didepannya terdiam membungkuk, Winwin buru buru merengkuhnya. Membawa untuk duduk pada sofa dibelakngnya.

"Kenapa? Apanya yang sakit?"

Tak ada jawaban.

Laki-laki yang baru saja berjongkok itu sedikit berdiri, lalu memeluk perempuan yang sedari tadi hanya menunduk sambil memejamkan mata. Tangannya perlahan mengelus punggung perempuan itu pelan. Hembusan nafasnya mengisyaratkan bahwa laki laki itu tidak sedang baik baik saja.

Mungkinkah khawatir?

Masih dengan posisi yang sama, Winwin terus mengelus punggung Geunmin, sesekali menepuknya pelan.
"Tidak apa.." katanya dengan suara yang nyaris berbisik.

Perlahan perempuan itu membuka matanya, menghela nafas panjang pertanda ia sudah baik baik saja. Lalu kesadarannya kembali. Menyadari bahwa tubuhnya sedang direngkuh oleh laki-laki didepannya, perempuan itu mendorongnya sedikit kasar. Kaget.

Menyadari itu pula, laki-laki yang memeluknya buru buru mendorongnya—jauh lebih kasar.

"Kamu tau? Kelakuan bodoh apa yang baru saja kamu lakukan?"

"Dasar ceroboh. Segera bereskan obat obat itu!" Ucapnya dingin lalu meninggalkan perempuan itu membereskan kotak obat seorang diri

Geunmin diam sebentar, lalu buru buru memungut beberapa obat yang terlempar keluar, memasukkannya dengan rapi pada kotak obat Malang itu. Sesekali ia merutuki dirinya. Pada kenyataan yang baru saja terjadi, ia memang ceroboh. Ia harus menerima hujatan tak berarti dari laki laki itu. Itu sedikit menyebalkan.

Sikap laki-laki itu memang terkadang cukup pahit, namun hatinya tak pernah meminta dirinya untuk marah atau setidaknya kecewa.

Bukan hak baginya untuk marah atau kecewa, dan memang pada kenyataannya tidak ada rasa yang memaksanya untuk hal itu.

Mungkin jika ada satu hal yang begitu memaksanya adalah bukan untuk marah atau kecewa. Tapi untuk mengerti.
Mengerti laki laki yang baginya teramat sangat sulit untuk dimengerti.











Thankyou for reading💗

Blue and Orange Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang