27

1.6K 313 68
                                    

Gemuruh yang nyaring terdengar membuat Winwin membuka matanya perlahan. Hujan di luar sana masih mendarat, semerbak aroma khasnya masih tercium pekat.

Ia menelisik ruangan. Untuk sejenak ia berpikir, syukur ingatannya tidak bermasalah. Ia masih mengingat  bahwa semalam ia sudah kembali pulang.

Winwin menghela nafas lega. Ini adalah kamarnya, bukan lagi ruang kamar rumah sakit.

Tangannya yang masih berplester ia pandang-pandangi, setidaknya ada lima luka sayatan di sana.

Memorinya kemudian terputar pada kejadian itu, dimana ia terpeleset saat berlagak menutup pintu dengan keras dan tak waras. Kemudian tangannya yang tanpa sengaja terluka membuat emosi yang kala itu tidak sedang dalam keadaan baik mendorongnya untuk melukai dirinya sendiri. Pecahan dari mangkuk itu menjadi saksi.

Harus ia akui ia bodoh kala itu, mungkin untuk pertama kalinya bodoh. Sebab menurutnya ia selalu cerdas sepanjang hidupnya.

Namun jujur, sore itu Geunmin mampu membuatnya bodoh. Bodoh yang paling bodoh.
Menjadi romantis, lalu menangis, dan kemudian berakhir melukai dirinya sendiri.
Ya, itu semua rasa-rasanya adalah sebuah kebodohan untuknya.

Tok.. tok..

"Masuk"

Sosok Bibi datang membawa segelas susu, senyum teduh nan hormatnya tidak lupa tersemat " Apa yang ingin anda makan hari ini, Winwin-ssi? Akan saya sajikan secepatnya"

Winwin berdehem" Saya sedang tidak ingin makan apapun, susu itu mungkin cukup"

"Oh, baik" Ucap Bibi Shin yang kemudian meletakkan segelas susu itu pada nakas. Nampan kayu didekapnya, Bibi lantas membungkuk hormat "Selamat beristirahat Winwin-ssi, saya permisi" Baru juga Bibi akan melangkah, Winwin menahannya.

"A— Bi!"

"Ya?"

"Dimana dia?"

"Aeu? "

"Jang Geunmin"

"Oh. Geunmin-ssi sedang keluar, sekitar satu jam yang lalu sempat izin kepada saya" Bibi mengubah cara pandangnya, agak miring seperti menelisik. " Apa Winwin-ssi ingin bertemu atau—"

"Ah, bukan. Bukan apa-apa"

"O-oh.. baik, saya permisi"

Klek..

"Ck.." Winwin berdecak pelan. Hujan sedang turun dengan derasnya. Dan Geunmin berada di luar sana yang entah dimana.






















Pada bangku taman yang di sampingnya dihiasi bunga bunga  basah akibat tetes air hujan yang masih tersisa, Jungwoo dan Geunmin duduk berdua bersama keheningan yang masih bertahan. 

Aroma tanah basah begitu merasuk, masuk menusuk ke dalam sukma yang hampa.

"Harusnya aku mengatakannya sejak awal. Sejak pertama kali rasa ini ada, sejak setiap lelah dan senyummu kala itu adalah milikku juga"

"Aku terlambat, sudah sangat terlambat" Jungwoo tertunduk. Matanya redup. Redup sekali.

"Harusnya saat itu aku tidak meninggalkanmu demi menjadi Kim Jungwoo yang hebat"

"Sekarang aku tidak merasa hebat"

Remasan tangan yang dilakukannya berulang kali, juga binar mata yang tampak berkaca membuat sosok Kim Jungwoo yang terbiasa tersenyum dengan wibawanya menjadi terlihat rapuh.

"Kau hebat" Geunmin meyakinkan, tubuhnya bergeser mendekat. "Tanganmu sudah terulur untuk berjuta orang tertindas di luar sana"

"Tapi kenapa tidak untukmu" sesal Jungwoo lirih,  penyesalan yang begitu dalam menyakiti rongga dadanya.

Geunmin tersenyum teduh, meski sebenarnya luruh dalam lara yang ada pada setiap garis wajah laki-laki di sampingnya. " Bukan salahmu "

"Kejar mimpimu, mimpi muliamu"

"Laki-laki hebat sepertimu memang seharusnya mendapat perempuan hebat juga. Dan itu bukan aku, tentu"

"Kau ingat, suatu ketika aku pernah mengeluh soal menjadi pelayan kafe itu tidak menguntungkan bagiku, dan katamu aku harus tetap menjalaninya— dengan bahagia? Katamu hidup itu selalu bergerak. Sedih itu wajar, dan bahagia itu pasti ada, akan ada waktunya, nanti"

"Percayalah, petuahmu selalu ku genggam, dan itu sudah jadi bekal yang cukup untukku sekarang, jadi jangan khawatirkan soal aku dan kehidupanku bersama Winwin-ssi"

"Dan soal ceritamu di bangku rumah sakit semalam, ku harap kau bisa menggenggam ucapanmu sendiri. Jalani perjodohanmu—dengan bahagia. Ku pikir Minkyung perempuan hebat. Sama sepertimu"

Jungwoo menunduk, lagi lagi.  Kemudian nafas berat terdengar pelan berhembus.

"Tapi—" Ucap Jungwoo tertahan.

"Kita tetap harus jadi teman"

"Sampai nanti, sampai aku dan kau tidak akan bertemu lagi di dunia ini"

Geunmin mengacungkan jari kelingking, mengiyakan dengan cara paling meyakinkan. Untuk sejenak Jungwoo terdiam, menelan saliva nya berat, kemudian dengan ragu ragu, menautkan kelingkingnya hingga menjadi lebih erat.

"Kita bisa bertemu di Rumah Mimpi. Itu panti milikku, ada banyak anak-anak hebat di sana"

Geunmin mengangguk.
"Aku pasti kesana"



Langit terlihat begitu hitam—kelam, sepertinya mengerti akan isi hati Jungwoo—dan mungkin juga  Geunmin.

Kilat kilat di langit berkejaran, diikuti gemuruh petir yang ringan.

Hujan turun lagi, kali ini lebih deras.

Jungwoo bangkit, menarik diri dari bangku taman itu, tak lupa tangannya menggenggam tangan Geunmin. Mencoba berlari menjauh di sisi taman.

"Aku akan mengantarmu pulang"

Ditengah tetesan hujan yang mengalir membasahi keduanya, ada tetesan lain yang keluar menyatu bersama derasnya hujan. Itu kesedihan, dari mereka, diantara salah satunya.

"Aku rindu mengunjungi kafe mu, bercengkerama, menjadi jahil, dan meminjamkanmu sapu tangan tiap kali kau sedang menangis lemah"






























































Tuk,       

  tuk,           

tuk...

Derap langkah yang terdengar lelah mengalun pelan menuju kamar Winwin.

Winwin dengan mata terpejam dapat mendengarnya samar. Tubuhnya masih terasa lemas, terlalu lemah untuk terbangun. Ia tertidur, namun otaknya tak sepenuhnya dapat terlelap. Membuatnya masih setengah sadar.

Bunyi pintu terbuka di dengarnya. Bunyi yang sangat pelan.

Dengan mata terpejamnya, ia dapat merasakan ada kepala berambut panjang yang basah bersandar pada lengannya. Tampak lemah.

Tak ada suara apapun, hanya aroma nafas tak asing yang berhembus teratur.

Lalu tak lama kemudian sebuah tangan yang masih dingin dengan lengan baju yang basah juga, menyentuh pipinya lembut dan tergelatak begitu saja di sana.

Winwin membuka matanya perlahan.

Itu Geunmin. Ia mendapati Geunmin. Kepala bersandar itu milik Geunmin. Tampak terlelap lelah dengan seluruh pakaian yang basah.

Winwin hanya kembali terpejam, dengan menggenggam erat tangan yang tergelatak di atas pipinya.



















Jadi gimana? Udah cukup  paham  Jungwoo ini darimana dan gimana di kehidupan Geunmin?

Nanti malem nggak yakin bisa update  dan tadi malem juga belum jadi update, jadi siang ini aja nggak apa ya

Thankyou for reading, see you💐

Blue and Orange Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang