6

2.1K 421 46
                                    

Pagi yang cukup sunyi. Winwin hanya sibuk menghadap laptop dan beberapa buku tebal miliknya. Laki laki itu melantai pada ruang tengah yang memang cukup luas dan nyaman. Ia lebih memilih melantai diatas karpet bulu daripada harus duduk di sofa. Ia pikir karpet bulu itu punya jimat yang membuat pengerjaan tugas tugasnya menjadi lebih cepat.

Atau entahlah, ia hanya sedang ingin.

Waktu menunjukkan pukul tujuh, dan suasana belum juga berubah, sunyi. Winwin melirik ke arah kamar tamu yang tak jauh dari jangkauan matanya. Itu kamar Geunmin.
Sejak awal mereka bersama, mereka menempati kamar yang berbeda, Geunmin menempati kamar tamu dan ia menempati kamar lantai dua miliknya. Mereka tak pernah berada dalam satu kamar yang sama.

Kecuali kala itu, pada satu malam—yang memang mengharuskan untuk memenuhi tujuan dari perjanjian.

Pintu kamar itu masih tertutup rapat, tidak ada tanda tanda kehidupan pagi yang sudah dimulai di dalamnya. Winwin kemudian meneruskan kegiatannya, walau sesekali melirik lagi, lagi, dan lagi. Bukan apa apa, ia hanya penasaran mengapa perempuan itu belum juga bangun.

Merasa perutnya memaki, Winwin beranjak dari duduknya, berniat membuat secangkir teh hangat dan mengambil sepotong roti-atau apapun yang ada pada kulkas.

Laki-laki itu memang tidak cukup mahir dalam memasak. Perkara menggoreng telur saja, ia pernah hampir membakar dapur seisinya. Maka, jadilah roti sebagai sahabat terbaiknya.

Membuka kulkas itu, winwin tertarik mengambil beberapa potong roti tawar dan satu buah cup selai coklat.
Soal minum, ia sedang berusaha menyeduh teh hijau dengan air panas.

Matanya teramat fokus pada seduhan itu, tapi secara tiba- tiba sesuatu lain mengalihkannya.

Geunmin.

Perempuan dengan tangan menutup mulut itu berlari kecil menuju wastafel yang tak jauh dari sisi dapur.
Lalu menyalakan air dan menunduk, jelas sekali terlihat, perempuan itu sedang mengalami mual dan berusaha mengeluarkan seisi perutnya.

Winwin hampir saja lalai. Selama beberapa detik memperhatikan apa yang terjadi pada perempuan itu, ia kemudian menghentikan aktivitasnya menyeduh air panas.

Diam sebentar laki-laki itu kemudian berjalan mendekat dengan ragu, menelisik selama beberapa saat lalu benar benar meneruskan langkahnya hingga berdiri tepat di belakang perempuan yang masih saja berusaha memuntahkan isi perutnya.

Tidak ada apapun yang keluar dari mulut perempuan itu, hanya liur liur yang sama sekali tak memberikan pengaruh kelegaan apapun.

Geunmin terus berusaha memuntahkan isi perutnya. Satu tangannya memegang perut.
Matanya sudah memerah, nafasnya sudah tak beraturan, rambutnya berantakan. Ia cukup kesulitan, sampai sebuah tangan meraih rambutnya. Berusaha menyingkirkan helai helai yang terus saja jatuh menutup pandangannya.

Geunmin berusaha menoleh. Itu adalah tangan Winwin

"Lanjutkan saja.." Ucap laki-laki itu yang kemudian satu tangannya lagi menepuk nepuk pelan punggung perempuan itu. "Apa masih terasa mual..?" Tanyanya dengan ragu.

Tidak ada jawaban. Geunmin justru mengakhirinya. Bukan karena sudah berhasil memuntahkannya, tapi karena energinya sudah tidak mampu untuk berdiri lebih lama lagi. Ia kemudian menegakkan tubuhnya, membuat kedua tangan laki laki dibelakangnya perlahan melepas.

"Kamu perlu makan" Ucap laki laki yang memimpin jalan menuju dapur itu tegas.

Ia kemudian mengambil beberapa potong roti —yang seharusnya akan dijadikannya sarapan—dan mengolesnya dengan selai coklat. Selesai dengan urusan roti, laki-laki itu menyempurnakan teh miliknya yang masih setengah jadi, lalu menyodorkan keduanya pada perempuan yang sedari tadi hanya terduduk lemas pada kursi meja ruang makan.

Blue and Orange Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang