26

1.3K 312 90
                                    

"J-jungwoo-ya?"

Tak ada yang lebih serius daripada tatapan satu sama lain yang bahkan tak terputus sejak pertama bertaut.

Geunmin menatap dalam netra Jungwoo dengan tatapan campur aduk yang sulit diartikan. Jungwoo yang sempat terkejut dengan wajah kaku kemudian melunak dengan senyum samar-samarnya.

"Kau-" Tanya Jungwoo terputus yang kemudian justru tertawa tak habis pikir.

"Ah- aku tak pernah berpikir kita akan bertemu lagi, disini, seperti ini" Ucap Jungwoo dengan raut wajah menerka-nerka tak percaya.

Geunmin yang tanpa sadar sempat tersenyum lepas akhirnya buru buru mengakhiri senyuman itu lalu menundukkan pandangannya.

Jungwoo yang masih pada senyum lepasnya kemudian mendekat selangkah "Kau masih sama?" Tanyanya antusias, seolah pertemuannya dengan perempuan di hadapannya adalah sesuatu luar biasa yang tak terduga.

Laki-laki itu masih menunggu jawaban atas pertanyaan ambigunya, senyum lepasnya masih sama, belum hilang. Namun kemudian senyum lepas itu luntur perlahan ketika sosok di hadapannya yang hanya terdiam itu menurunkan keranjang belanja yang semula menutupi sebagian sisi perutnya.

Jungwoo terpaku. Matanya menjangkau sesuatu.

Perut perempuan itu.

Baik, Kim Jungwoo. Jawabannya adalah tidak. Geunmin sudah tidak lagi sama.

Atmosfer canggung begitu terasa- meski sementara, sebab Jungwoo kemudian tertawa. Tawa berjuta makna.

"Kau masih sama, maksudku- sering berbelanja sendirian" Ujarnya yang kemudian terlihat sedikit menunduk.
Tatapannya menjadi redup. Sempat menarik nafas, Jungwoo kemudian bertanya dengan teramat ragu-ragu.
"A-apa- apa kau-"

Geunmin seperti mengerti, kemana arah dari pembicaraannya nanti. Bagian hati terdalamnya seperti luruh untuk menunggu kata yang akan terucap dari pertanyaan itu.

"Apa kau-"














"Jungwoo-ya!"

Oh, sepertinya semesta mengerti, bahwa ketegangan yang ada harus segera diakhiri. Atau mungkin nanti-akan terjadi lagi.

Jungwoo menoleh setelah sempat menghembuskan nafas panjang. Sesosok perempuan berjas dokter melangkah mendekat. Geunmin menelisik. Tidak salah lagi, itu adalah dokter yang ditemuinya di koridor. Dokter yang juga sempat menangani Winwin.

"Ah, maaf. Apakah aku menghentikan percakapan kalian? Kalau begitu aku m-"

"A-t-tidak, kami tidak sedang bercakap serius. Saya yang harus pergi, permisi" Ujar Geunmin yang dengan tergesa melangkah menjauh setelah sebelumnya membungkuk hormat.














Langkah yang terasa begitu layu terus menapaki lantai rumah sakit. Berkali kali Geunmin menahan airmatanya. Hari itu begitu membuatnya lelah bertubi-tubi.

Harusnya Jungwoo tidak datang-lagi.

Harusnya bukan sekarang. Atau harusnya tidak perlu bertemu sama sekali jika kemudian hanya menciptakan luka. Yang entah hanya untuknya, atau untuk laki-laki itu juga. Entah, Geunmin tak mengerti dengan pasti.



Sampai pada pintu kamar Winwin, Geunmin menghela nafas panjang. Ia harap, kali ini ia tidak datang di waktu yang tidak tepat.

Ada Choi Nana di dalam.

Geunmin ingat itu.

Dengan begitu pelan Geunmin membuka pintu, berhati-hati sebab tak ingin salah lagi, barangkali ia mengganggu aktivitas di dalamnya.

Klek..





Salah.

Ia salah lagi.

Terlihat Winwin yang tengah berbaring dengan Nana yang tampak mendekap erat diatasnya, wajahnya terbenam sempurna pada dada bidangnya. Tangan keduanya bertaut begitu erat.

Winwin yang kepalanya dapat bebas menjangkau seluruh ruangan menoleh ke arah pintu. Dapat ditangkapnya sosok Geunmin yang hanya berdiri diam tak bergerak dengan sekantong plastik yang Winwin tak tau apa itu.

Manik keduanya bertemu, tatapannya begitu mendalam. Dalam sekali hingga keduanya tak mampu memutusnya.

Geunmin menelan saliva yang terasa berat. Kemudian menaruh kantong plastik berisi buah dan makanan lain ke atas meja terdekat.

Winwin dengan raut tak tertebaknya hanya memandang setiap gerak gerik perempuan di sudut pintu itu dengan nafas memburu-meski wajahnya nampak begitu tenang.

Geunmin terlihat mundur perlahan, memandangnya dengan tatapan tak terbacanya. Perempuan itu melangkah keluar setelah sebelumnya Winwin dapat melihat ada segaris senyum samar-samar disana.

Glek.

Bertepatan dengan keluarnya Geunmin, Nana bangkit dari tempatnya mendekap. Mengusap sisa sisa air matanya yang tak begitu seberapa.

Winwin menggigit bibir atasnya, sambil kemudian memandang jauh ke arah jendela.

Matahari hampir menyembunyikan sinarnya. Sudah senja.

Nana tersenyum, kemudian menggeser tirai hingga menampakkan suasana luar yang lebih lagi. "Begini?"

Winwin hanya diam dengan wajah datarnya. Tampak berpikir sejenak, laki-laki itu kemudian melepas infus yang menempel pada tangannya. Ia mencoba bangkit.

"Apa yang kau lakukan?" Tanya Nana sedikit mengeras, sebab ia benar bingung atas apa yang dilakukan Winwin.

Winwin yang telah berhasil pada satu langkah pertamanya hanya diam tak menjawab.

"Hei Winwin Dong! Apa yang kau lakukan? " Tanya Nana lagi. Kali ini lebih tegas.

"Keluar. Aku hanya ingin keluar." ujar Winwin tenang. Air mukanya begitu datar.

"T-tapi" Nana dengan alisnya yang bertaut masih berusaha menyela.

"Sebentar" Ucap Winwin lagi.

"Ah aku perlu ikut untuk memb"

"Tidak perlu!"

Dengan wajah terkejutnya Nana terdiam, menutup mulutnya rapat-rapat sesaat setelah bentakan itu terdengar olehnya. Winwin tidak marah, Nana tau itu. Namun bentakan itu sudah cukup baginya untuk tidak melanjutkan lagi ke-khawatiran itu.

Winwin melangkah dengan cukup lemah, ia meraih sebungkus roti yang ada di dalam kantong plastik yang Geunmin bawa sebelumnya lalu melangkah keluar.

Hari sudah mulai gelap, senja berwarna jingga itu sudah di ujung. Dengan tergesa Winwin menyusuri koridor, sesekali mengambil nafas.

Langkah demi langkah ia tapaki pada lantai rumah sakit itu, ada satu harapan sederhana yang menggebu gebu. Membuatnya melangkah jauh, hingga lebih jauh.



Sampai.

Winwin sampai pada apa yang ia cari.

Terlihat sosok Geunmin di sebuah bangku. Bangku taman yang di sebelahnya terdapat lampu yang sudah mulai berpijar.

Namun bukan itu yang Winwin harapkan.

Geunmin duduk bersama seorang laki-laki dengan corndog di tangan. Tampak hangat. Sesekali perempuan itu tersenyum.

Roti malang yang sempat keluar dari sakunya, akhirnya hanya dapat Winwin pandangi sejenak. Lalu ia simpan kembali pada genggaman.

Harapan sederhananya pupus, membawakan sebungkus roti untuk Geunmin yang Winwin duga pasti sedang lapar, kemudian menikmatinya bersama senja yang jadi kesukaan perempuan itu, nampaknya hanya jadi angan belaka.

Senja sudah benar-benar tenggelam. Winwin bersama angin malam hanya diam memandang dari kejauhan.


















Hai! Menurut kalian kelanjutannya akan gimana nih... Hehe

Thankyou for reading, see you soon, hopefully, love you!❤

Blue and Orange Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang