29

19.6K 1.6K 147
                                    

            PART 29


Sebuah kendaraan beroda empat memasuki kompleks perumahan  yang dihuni oleh kalangan menengah ke atas.

Mobil alphard hitam itu mendekati sebuah rumah besar berlantai dua yang tidak bisa dimasuki.

Banyak mobil terparkir tidak hanya di dalam gerbang tapi juga luar gerbang, sehingga membuat penghuni dalam mobil mengernyit bingung.

"Pa, ini kita enggak salah rumah 'kan? Perasaan kita enggak ada ngadain pesta atau ngundang sanak saudara buat datang."

Seorang wanita yang duduk di tengah-tengah di antara kedua pria yang ia cintai itu mengernyit dahinya bingung. Begitu juga dengan pria dewasa yang duduk di sisi kanannya.

"Ma, ini enggak mungkin Kiera yang mau buat kita kejutan 'kan?" selidik pria dewasa tak paham juga.

Wanita yang tak lain adalah Alya Anjani, istri dari Dewangga tentu saja menggeleng tegas. Ia tahu putrinya. Putrinya tidak akan bisa melakukan hal seperti ini. Pesta dan mengundang kaum sosialita bukan tipe Kiera sama sekali.

Lagi pula, mana mengerti Kiera soal seperti ini.

"Apa mungkin ini perbuatan anaknya Asep dan Ani?" ujar Dewa tajam.

Rahangnya mengeras begitu mengingat laporan dari Naomi jika putrinya diperlakukan tidak baik oleh anak dari dua orang pesuruhnya.

Siapa yang berani melakukan hal buruk itu pada putrinya tercinta? Hampir 16 tahun lebih ia dan sang istri merawat Kiera dan bahkan mencubit gadis kecilnya saja tidak pernah. Tapi, orang asing yang statusnya lebih rendah dari putri  mereka dengan berani melukainya.

"Entah, Pa, mama juga enggak tahu," balas Alya yang memang tak tahu apa-apa.

"Mobil enggak bisa masuk, Tuan. Bagaimana ini?" tanya sopir kantor yang bertugas menjemput keluarga kecil Dewa di bandara.

"Kita turun di sini aja. Bantu saya bawa koper lainnya ya, Pak," pinta Dewa yang langsung diangguki sang sopir.

Dewa membawa sebuah koper besar di tangan kirinya, sementara tangan kanannya merangkul erat istrinya.

Di sisi kanan Alya, Kairo berjalan dengan ekspresi datarnya. Koper kecil miliknya ia tarik sendiri tanpa bantuan orang lain karena ia sudah terbiasa mandiri sejak usia 5 tahun.

Tinggi bocah itu sudah hampir sebatas dada Alya. Hanya menunggu usianya sampai 16 tahun, Alya jamin pasti Karo akan memiliki postur tubuh yang tinggi seperti Dewa.

"Ini bukan kerjaan Kakie, Ma, Pa," komentar Kairo sambil berjalan mengikuti kedua orang tuanya.

"Oh, iya? Kenapa kamu bisa seyakin itu, Nak?" Alya menatap putranya yang berada di sampingnya dengan tatapan sayang.

"Karena Kakkie mana bisa mikirin buat pesta seperti ini. Ini pesta khas sosialita kalangan atas dan Kakkie enggak ngerti soal begituan."

Meski usianya lebih muda beberapa tahun dari Kiera, namun pengalaman luwes Kairo dari kehidupan orang-orang serta yang ia lihat melalui televisi membuatnya mengerti akan kehidupan kaum sosialita.

"Anak mama makin besar makin pinter." Senyum Alya mengembang sembari merangkul pundak Kairo.

"Dari dulu Kairo memang pintar, Ma. Dan papa tahu  itu," sahut Kairo dengan senyum kecilnya.

Alya dan Dewa kompak mendengkus mendengar ucapan narsis putra mereka.

Ketiganya di ikuti sang sopir melangkah melewati halaman yang luas hingga mereka berdiri di anak tangga paling bawah.

"Aku bopong, Sayang," ujar Dewa lembut.

Dewa mengangkat istrinya ala bridal style membawanya menaiki satu persatu undakan anak tangga hingga mereka berada di atas.

Istrinya memang sudah bisa berjalan normal. Pengobatan yang Dewa kira akan memakan waktu lama ternyata hanya beberapa bulan saja.

Dewa tidak suka melihat istrinya kelelahan. Maka dari itu pria itu membopong tubuh istrinya hingga ke atas.

Setelah tiba di atas, mereka mendekati pintu yang terbuka lebar. Suara dentuman musik yang dimainkan DJ terdengar hingga di luar. Banyak  manusia yang menari atau minum-minuman beralkohol. Dewa bukan orang bodoh untuk mengetahui jika rumahnya di jadikan bar.

Kehadirannya masih tidak disadari orang-orang hingga membuat Dewa meminta sopir kantor untuk mendekati panggung DJ dan menghentikan suara musik yang memekakkan telinga.

Posisi mereka berada di ruang tengah dan masih belum ada yang menyadari keberadaan mereka. Lampu utama tidak dinyalakan dan hanya lampu diskotik sebagai penerang minim.

Dewa sudah meminta Kairo untuk menghidupkan lampu utama sementara dirinya dan Alya tetap di posisi semula.

Suara musik di hentikan bersamaan dengan lampu utama yang dinyalakan hingga membuat ruangan yang remang-remang kini terang benderang.

Suara ricuh terdengar dan membuat keadaaan kurang kondusif. Mereka saling menanyakan apa yang terjadi hingga pesta di hentikan begitu saja padahal jam baru menunjukkan pukul 8 malam.

"Apa yang terjadi di sini?" Suara teriakan bercampur amarah terdengar menggema di penjuru ruangan.

Semua tamu undangan termasuk yang berada di taman samping bergegas mendekati kekacauan termasuk geng Mouzan.

Langkah Chika yang baru saja melewati pintu samping menghambat saat melihat dua sosok yang sangat ia kenali.

Wajahnya memucat. Tangannya bergetar dingin seolah dirinya sudah berada di dalam kulkas cukup lama.

"Sekali lagi saya tanya, apa yang terjadi di sini?"

Semua membeku.

Tamu undangan masih tidak memahami apa yang terjadi sampai sebuah suara bergetar menyapa indra pendengaran mereka.

"T-tuan."

ALKIE (POSSESSIVE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang