31

22.4K 1.8K 192
                                    

"Selamat malam, Pak Dewa," ujar sebuah suara penuh wibawa terdengar di penjuru ruangan.

Ruangan yang masih terlalu ramai-ramai dengan suara bisikan kini terhenti begitu saja saat mendengar sapaan dari pria yang berdiri di depan pintu.

Pria yang tak lain adalah Wiraguna datang dengan dua orang yang memakai kemeja putih dan celana hitam sambil membawa map di tangan mereka.

"Pak Wira, ada apa? Kalau ini masalah pekerjaan bisa kita selesaikan besok?" Dewa menatap wakil direktur di perusahaannya dengan mata elangnya.

"Mohon, maaf, Pak, kalau kami mengganggu. Kami di sini hanya ingin meluruskan apa yang terjadi." Wira berucap dengan tenang. Tidak ada getar ketakutan di wajahnya saat Dewa menatapnya tajam.

"Apa maksudnya?" Kening Dewa dan Alya kontan mengernyit tak paham dengan situasi saat ini.

"Mereka adalah pihak pegadaian, Pak. Mereka mengatakan jika ada seseorang yang menggadaikan salah satu mobil bapak di pegadaian sebesar 70 juta."

Dewa terbelalak terkejut mendengar mobilnya di gadaikan oleh orang.

"Saya merasa tidak pernah menggadaikan sesuatu. Saya juga tidak menyuruh orang, Pak," ujar Dewa menatap Wira  tenang.

"Bukan bapak, tapi saudari Chika yang menggadai ditemani oleh Ibu Ani yang mengaku sebagai asisten rumah tangga, Anda, Pak," ujar seorang dari biro gadai.

"Memangnya bisa seseorang menggadaikan barang milik orang lain tanpa tandatangan atau sesuatu yang bisa menjamin?" tandas Dewa tajam. Dirinya tidak menyangka jika ada tangan usil yang mengusik miliknya.

"Kami minta maaf, Pak. Ini keteledoran dari anak buah kami. Maka dari itu setelah menerima berkas-berkas atas nama bapak, kami segera menghubungi Pak Wira," tandas pria yang mengaku sebagai manajer pegadaian. 

Mata tajam Dewa beralih menatap Ani dan Chika yang membeku di tempat, sementara Asep menatap tak percaya dengan apa yang di dengarnya.

"Benar, Bu, kamu mengizinkan Chika menggadaikan salah satu mobil Pak Dewa?" pekik Asep tak percaya. Istrinya mengizinkan putri mereka berbuat yang tidak-tidak. Apa-apaan ini? Batin Asep tak percaya.

"I-ibu terpaksa, Pak. Chika mengancam akan bunuh diri kalau aku tidak mewujudkan keinginannya," balas Ani sembari menangis sesenggukan.

"Kalau dia mau mati, mati saja sendiri jangan bawa-bawa orang!" bentak Asep yang sudah mulai muak. "Kalau kayak gini kalian bisa di polisikan! Ini karena kamu terlalu menuruti keinginan anak, Ani!" Asep mengusap wajahnya kasar dengan perbuatan anak dan istrinya yang tidak ia ketahui.

Susah payah dirinya bekerja untuk memenuhi kebutuhan anak dan istrinya. Tapi, apa? Mereka melakukan hal yang tidak seharusnya di lakukan.

Asep bahkan mencari pekerjaan tambahan untuk menghidupi mereka.  Pria paruh baya itu bahkan rela menjadi tukang ojek disela jam istirahatnya saat tidak melakukan tugasnya. 

Gaji mereka pun, mereka tabung dan beli tanah di kampung untuk masa tua mereka kelak. Tapi, rupanya jerih payahnya selama ini mendapatkan balasan yang membuatnya malu di depan keluarga Dewa. Keluarga yang sudah banyak membantunya.

"Dan kamu, Chika!" Asep menunjuk Chika dengan wajah marahnya. "Kamu itu harusnya sadar diri kalau kita itu memang miskin! Memang tidak bisa bergabung dengan orang-orang kaya! Kamu harusnya sadar dengan posisi kamu. Jangan jadi orang miskin yang berlagak seperti orang kaya!" teriaknya di akhir kalimat.

"Kita miskin karena bapak yang enggak becus cari uang! Bapak yang enggak berguna jadi ayah!" teriak Chika tak kalah emosi.

"Kurang ajar kamu,  Chika!"

Bersamaan dengan teriakan Asep, sebuah tamparan melayang ke pipi mulus Chika. Siapa lagi kalau bukan Asep sebagai pelakunya.

Kepala Chika terlempar ke samping. Di pegangnya pipinya yang berdenyut sakit akibat tamparan keras dari Asep.

"Kamu--" tunjuk Asep dengan tangan gemetar penuh amarah. "Kamu kalau enggak saya rawat, saya pastikan kamu sudah menggembel di jalan. Kalau bukan karena tangan saya, kamu enggak akan bisa pakai pakaian bagus dan sekolah di tempat yang bagus, Chika!"

"Bapak!" teriak Ani shock mendengar Asep membongkar rahasia mereka. Rahasia yang sudah mereka pendam selama beberapa tahun ini dan kini sudah terbongkar begitu saja langsung dari mulut suaminya.

"Biar, Bu. Biar dia tahu siapa dan dari mana dia berasal! Dia cuma bisa mengeluh dan mengeluh dan enggak bersyukur dengan hidup yang sudah di kasih enak!" Asep berteriak di akhir kalimatnya hingga membuat suasana semakin memanas.

"A-apa? E-enggak mungkin aku anak pungut." Chika menggeleng kepalanya panik. Dirinya bukan anak pungut dengan asal usul yang tidak jelas, batinnya mencoba meyakinkan.

Tidak! Tidak! tidak! 

Chika mengambil napas dalam-dalam dan otak cantiknya mulai berpikir dengan jernih.

"Aku tahu. Aku tahu, Bu, aku memang bukan anak kandung ibu dan bapak. Tapi, bisa saja 'kan kalau ibu yang menukarkan aku sama anaknya Pak Dewa. Iya, seperti itu. Aku pasti anak yang tertukar," racau Chika membuat sebagian orang menatapnya jijik.

"Sinetron banget pikiran lo," cibir Mauren memecahkan suasana tegang. Namun, sepertinya Chika tidak peduli. Tatapan gadis itu kemudian beralih menatap Feddel.

"Kamu dengar 'kan Fed, kalau aku bukan anak kandung dua pesuruh enggak becus itu? Kamu harus tahu kalau bisa jadi kemungkinan aku anak kandung Pak Dewa yang tertukar dengan anaknya sekarang."

Feddel berjengit mundur beberapa langkah ketika Chika berusaha untuk mendekatinya.

"Apa? Berarti Kiera bukan anaknya papa dan mama dong?"

Kiera yang baru tiba di depan pintu membeku ketika mendengar ucapan Chika.

Ekspresi sedihnya yang tampak menggemaskan membuat orang-orang yang berada di dalam ruangan tampak gregetan.  Mereka bahkan mengacuhkan kalimat mengganjal yang baru saja terlontar dari mulut Kiera.

"Iya. Gue anak kandung Pak Dewa! Dan lo, Kiera--" tunjuk Chika pada Kiera. "Lo cuma anak pungut yang di buang sama orangtua kandung lo. Bisa aja 'kan lo cuma anak haram dari wanita menggoda!"

Belum sempat Dewa menghampiri Chika dan memberi pelajaran pada gadis tak tahu malu itu,  Alya sebagai ibu kandung Kiera bergerak dan menampar wajah Chika dengan kekuatan penuh hingga membuat Chika jatuh tersungkur.

"Kamu bilang saya wanita penggoda? Hei, kamu, asal kamu tahu saja, kalau yang ngejar-ngejar saya ini adalah Dewa. Laki-laki yang bersedia melakukan apapun untuk saya itu Dewa." Alya menghela napas dengan mata tajam yang ia arahkan pada Chika. "Jadi, tolong sebutkan sama saya, di mana ada wanita penggoda yang cantik dan di kejar-kejar sama laki-laki selain saya. Ada?"

"Ani, coba sebutkan saat umur berapa kalian kerja sama saya dan umur berapa anak saya sama anak kamu saat itu?" Alya kini mengalihkan perhatiannya pada pasangan suami istri di dekatnya.

"Saat umur 3 tahun, Nyonya. Saat itu bahkan saya yang mengantar jemput Non Kiera ke sekolah kanak-kanak," jawab Asep dengan kepala tertunduk malu. Malu dengan sikap putrinya yang sudah ia rawat seperti anak sendiri.

ALKIE (POSSESSIVE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang