ALKIE_IDR 4

5.1K 558 15
                                    

Kiera menatap koridor di depannya dengan tatapan bingung.

Gadis itu baru saja tiba di kampusnya beberapa menit yang lalu. 

"Caboci cindai bolong. Masak opor keluar rendang."

Kiera  menggumamkan kalimat mantra sambil menunjuk dua arah secara bergantian.  Hal tersebut dilakukan karena bingung koridor mana yang akan membawanya ke kelas. Pasalnya, Hari ini adalah hari pertama mereka belajar secara aktif di kelas setelah satu minggu mereka menjalani masa ospek.

Sebenarnya kemarin Kiera tour bersama para mahasiswa baru yang dipimpin oleh senior mereka. Namun, karena terlalu asyik berbincang dengan Reza membuat Kiera tidak begitu memperhatikan keadaan sekitar.

Gadis itu mengerucut bibirnya sementara keningnya mengerut menentukan pilihan mana yang akan ia ambil.

"Lo ngapain, Kie?" Tiba-tiba saja Reza sudah berdiri di sebelah Kiera dan menepuk pundaknya membuat gadis itu terkejut.

"Reza ngagetin Kiera aja." Gadis itu mengerucut bibirnya  sementara tangannya bergerak mengusap dadanya yang berdebar karena terkejut.

"Iya habis ngapain lo disini? Mau jadi penunggu koridor? Apa mungkin lo mau jadi model koridor?" dengus Reza.

"Kiera enggak mau jadi model. Kiera mau jadi ibu rumah tangga yang baik aja buat Alif," sahut gadis itu malu-malu.

Reza mendecih remeh menatap Kiera. "Masih kecil udah mikirin rumah tangga. Pikirin tuh kelas kita nanti," katanya sambil merangkul pundak Kiera. Bersikap akrab adalah hal yang biasa  dilakukan  Mauren jika ia masih berada di dalam tubuhnya sendiri. Sayangnya, saat ini jiwa Mauren berada dalam tubuh Reza.

"Barusan aja Kiera lagi mikir di mana kelas kita." Kiera membalas dengan tatapan serius. "Reza, Kiera  lupa kelas kita yang mana." Kiera meringis menatap Reza.

"Kalau lupa kelas lo di mana, kenapa lo enggak tanya?"

"Kiera mau tanya sama siapa? Kan, Kiera enggak begitu kenal sama orang-orang di sini."

"Ya ampun, Kiera. Maksud gue, kenapa lo enggak tanya di mana fakultas ekonomi buat mahasiswa baru ke orang-orang ini." Reza memutar bola matanya gemas. "Ah, udahlah. Ayo, lo ikut gue. Kalau enggak salah kelas kita ada di koridor kanan."

Reza menarik tangan Kiera dan berniat untuk membawanya ke koridor sisi kanan. Namun, langkah keduanya terhenti  saat merasakan tarikan pada baju belakang mereka.

Reza dan Kiera spontan menoleh menatap pelaku yang menarik mereka barusan.

"Mauren?" seru keduanya kompak.

"Lo berdua mau ngapain ke arah sana?" tanya Maureen menatap keduanya.

"Mau ke kelas lah. Memangnya mau kemana lagi?" Reza memutar bola matanya malas mendengar pertanyaan Mauren yang menurutnya sangat tidak penting.

"Eh, Markonah. Jalan yang kau tuju adalah jalan menuju kehampaan dunia. Tidak akan kau temui bunga sakura bermunculan di sana," ujar Mauren.  "Hanya hembusan angin yang--"

"Stop!" sela Reza sambil menutup telinganya. "Kenapa lo jadi baca puisi 'sih? Enggak nyambung banget," ketus Reza menatap Mauren malas.

"Suka-suka gue. Gue yang menciptakan puisi, kenapa lo yang jadi ribet," sahut Mauren tak mau kalah.

"Jelas gue ribet. Dengar ya, bukannya gue enggak menghargai jenis karya sastra. Tapi, puisi yang lo baca itu enggak bermakna,  Sukimin. Enggak ada nyawanya," kata Reza sok tahu.

"Memangnya lo tahu puisi yang ada nyawanya?"

"Tahu." Reza menjawab dengan penuh kepercayaan diri.

"Gimana?"

"Minta sama Tuhan biar dikasih nyawa," sahut Reza acuh.

"Enggak nyambung, astaga." Mauren memutar bola matanya tak habis pikir dengan ucapan Reza.

"Mauren dan Reza sama-sama enggak nyambung." Kiera yang sejak tadi menonton aksi perdebatan keduanya terkikik geli. "Ah, kalau lihat kalian romantis seperti ini, Kiera jadi kangen Alif," katanya tersenyum manis. Kedua tangannya menangkup pipi dengan manik mata berbinar menatap Mauren dan juga Reza.

"Romantis kepala lo!"

"Wah, selain romantis kalian juga kompak. Benar-benar jodoh." Kiera menganggukkan kepalanya sambil bertepuk tangan dengan aksi kedua pasangan di hadapannya.

"Bodo amat, Kie. Bodo amat." Reza mendengus sebal.

"Kalau gue bisa jodoh sama ini manusia, bisa hancur masa depan gue. Soalnya hidup gue bakal dipenuhi sama gosip." Mauren menunjuk Reza.

"Hidup gue juga bakalan lebih hancur kalau punya pasangan macam lo. Bukannya kenyang karena makan, tapi justru kenyang dengar lo baca puisi."

Reza mendengus tak mau kalah. Berdebat dengan Mauren adalah satu kewajiban yang tidak boleh ia lewatkan. Karena apa? Jika ia tidak merespon, maka Mauren akan menganggap dirinya menang atas perdebatan mereka.


Kiera hanya bisa menghela napas saat melihat keduanya kembali berdebat.

"Ayo, kita cari kelas kita." Kiera tanpa kata menarik kedua tangan temannya menuju koridor  sisi kanan sesuai dengan arahan petunjuk Reza tadi. Namun, lagi-lagi gerakannya tertahan saat Mauren justru bergerak menarik tangannya menuju sisi kiri.

"Kita mau ke mana?"

"Ke kelas, Kiera. Sisi kanan koridor itu khusus untuk fakultas kedokteran dan juga ruang dosen sama dekan,"  kata Mauren gemas. "Ini karena kalian kemarin banyak ngobrol, makanya enggak memperhatikan waktu senior kasih penjelasan."

Mauren heran sendiri mengapa ia bisa satu universitas bahkan satu fakultas dengan kedua remaja ini.

"Ah, Kiera memang berjodoh dengan Alif."

"Apa hubungannya?" Reza menoleh menatap ke arah Kiera aneh.

"Alif 'kan ambil jurusan kedokteran. Nah, Kiera langsung mau pergi ke fakultas kedokteran. Itu tandanya Alif dan Kiera satu hati," katanya sambil tersenyum malu.

Reza dan Mauren hanya bisa menggeleng kepala mereka menatap Kiera tidak habis pikir. Tidak menyangka saja jika gadis yang terlihat polos dan lugu ini bisa jatuh hati dan bersikap berlebihan pada Alif.

"Udah. Kita langsung cari kelas. Gue terlalu eneg dengan romansa yang hadir di antara kalian." Reza mendengus dengan tangan terlipat di dada. Ketiganya mulai melangkah menyusuri koridor universitas menuju fakultas mereka.

"Lo bukan eneg, Za. Tapi,  envy." Mauren melirik ke arah Reza sebentar. "Bisa dimaklumkan karena lo udah jomblo dari lahir.  Mana mengerti soal cinta-cintaan dan asmara," katanya, sambil menatap Mauren iba.

"Heh, kenapa lo lihat gue dengan cara itu?" Reza menghentikan langkahnya dan menatap Mauren tajam. "Gue pernah pacaran waktu SD. Tiga kali dan banyak anak laki-laki yang ngejar gue. Lha, lo apa? Enggak pernah pacaran sok-sokan menghakimi gue."

"Masa SD bukan disebut sebagai pacaran, Markonah. Itu cinta monyet."  Mauren mendengus. "Gue tentu aja udah pernah pacaran waktu SMA," beritahunya dengan bangga.

"Iya, lo pernah pacaran waktu SMA. Tapi waktu pacaran cuma sehari doang, habis itu lo diputusin," ejek Reza menatap Mauren sengit.

Mauren sontak melebarkan matanya.  "Tahu dari mana lo?"

"Gue enggak akan dijuluki sebagai ratu gosip kalau informasi secuil enggak bisa gue dapatkan." Reza menyeringai lebar  menatap Mauren yang tercengang di tempat.


Kiera lagi-lagi hanya bisa menggeleng kepalanya melihat perdebatan yang akan di segera dimulai antara Reza dan Mauren. Mau tak mau, ia akan bersikap sebagai penonton lagi.

ALKIE (POSSESSIVE) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang