🍭Prolog🍭

21.8K 875 126
                                    

Seminggu yang lalu Ayah Ayip, yang masih kelas lima SD itu meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas sepulang kerja.

Bianca teman sekelasnya di KB dan TK dulu hanya bisa duduk diam menemani di pojok rumah. Wajahnya yang biasa ceria tampak serba salah. Ia ingin menghibur tapi bingung harus berkata apa.

"Ayip, kamu tinggal di rumah aku aja." Akhirnya Bianca memecah kesunyian mereka yang sangat menyesakkannya. Ia benci kesunyian.

Ayip menoleh dalam diam lalu kembali menunduk.

"Nanti kita sekolahnya bareng. Nanti kamu punya Mama sama Papa baru. Kan ada aku, Adek Zefa, Mama sama Papa."

Ayip kembali menoleh, memandang Bianca dengan kening berkerut.

"Iya, Ayip mau jadi tentara kayak Papa De sama Pakde Junanya Bian kan?" Tiba-tiba Rahil, Papa Bianca entah dari mana sudah berada di dekat mereka.

Sejak Ayah Ayip meninggal, setiap hari Rahil mengajak keluarganya ke rumah teman putri sulungnya itu. Walaupun Ayip dan Bianca berbeda sekolah saat SD, tapi mereka tetap akrab. Ayip juga sering menginap atau diajak berlibur bersama.

Ayip menatap Rahil ragu lalu mengangguk perlahan.

"Kan, Grandpanya Bianca dulu tentara. Nanti bisa tanya-tanya ke Grandpa. Tapi sebelum itu Ayip kan harus tetap sekolah, jadi Ayip tinggal sama Papa, Mama, Adek juga Adek Zefa. Adek Zefa pasti senang ada temannya tiap hari." Rahil tersenyum lembut.

"Sama Kung sama Uti juga?" Tanya Ayip takut-takut.

Rahil tersenyum lagi. "Kan Mbahkung sama Mbahuti harus jagain rumah ini. Kalau nggak ada yang jaga nanti kotor. Rusak deh. Kalau liburan nanti Ayip bisa pulang ke sini. Atau nanti kalau jalan-jalan, ajak Kung sama Uti juga."

"Iya. Iya. Nanti kita sepedaan bareng. Kayak dulu lagi. Aku baru dibelikan Papa sepeda baru. Mini warna pink. Bagus. Nanti Ayip pake yang item punyaku satunya." Ajak Bianca dengan semangat. "Nanti SMP kita bisa sekolah bareng lagi."

Ayip tampak bimbang.

"Mbahkung kan sudah sepuh. Kasihan kalau harus antar jemput Ayip kayak dulu. Mau ya, Nak?" Bujuk Rahil.

Selama ini setiap berangkat sekolah, Ayip selalu diantar Ayahnya. Pulangnya bersama teman yang searah.

Perlahan Ayip pun mengangguk.

"Yeeey!" Seru Bianca gembira sambil tepuk tangan. "Nanti kita belajar bareng. Ayip boleh ikut karate juga sama aku."

Mendengar Bianca menyebut karate membuat Ayip menoleh cepat dan menganga tak percaya. Ia tidak tahu kalau temannya itu ikut latihan karate. Yang ia tahu les menari dan bahasa.

"Iiih...kamu kok gitu sih? Aku udah dua tahun lho latihan karate. Nggak percaya?" Gerutu Bianca dengan mimik lucu.

"Nanti jangan pukul aku ya?" Pinta Ayip polos. Ia tak bisa membayangkan kalau kena pukul Bianca. Sejak dulu kalau kesal Bianca suka memukul dan itu sakit. Sekarang ditambah latihan karate...

"Ngapain aku mukul kamu? Aku bukan tukang mukul ih!" Bianca yang gondok langsung bangkit, menghentakkan kakinya lalu pergi.

Rahil hanya bisa istighfar dalam hati. Ayip dan Bianca terkadang suka berantem lucu seperti kali ini. Ia pun bangkit dan mengulurkan tangannya. "Yuk, kita beresin baju-baju sama buku pelajaran kamu."

"Aku pindah ke rumah Papa sekarang?" Bisik Ayip tak percaya sambil menerima uluran tangan Rahil.

Rahil mengangguk. "Iya. Lusa sudah hari senin kan sekolah? Biar besok bisa beres-beres kamar. Ayip nanti tidur sama Adek Zefa dulu ya? Nanti Papa beresin kamar satunya biar Ayip punya kamar sendiri kayak Adek sama Adek Zefa."

Lovely BiancaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang