🍭 Puasa 😇

7K 753 82
                                    

Bianca sudah tidak lagi menghitung hari karena nyatanya apa yang ia tunggu tak kunjung datang. Sekolah. Sekolah yang masih ditutup entah sampai kapan dan diganti dengan belajar di rumah.

"Mamaaa...ayo ke rumah Grandma...makan martabak mie di rumah Mbah Uti...makan macaroon di rumah Grandmére...main ke rumah Mama Ai..." rengek Bianca sambil guling-guling di karpet.

Zefa dan Ayip pun tampak asyik ngemil dimsum ala-ala Mia.

"Mbak, tahan dulu ya? Sabar dulu," pinta Mia lembut.

"Grandma bilang kangen. Rumahnya sepi. Uti Alifah juga gitu..." gumam Bianca yang masih bisa didengar semua.

Mereka baru saja selesai salat tarawih jemaah di rumah.

"Ya, kita semua kangen tapi kondisinya nggak bisa kan?" kata Mia.

"Sampai kapan?"

"Sampai nggak ada orang baru yang tertular corona," celetuk Rahil. "Mbak tahu sendiri di mana-mana masih banyak orang bandel?"

Bianca tahu tapi hatinya menolak apalagi saat melihat Ayip yang kangen rumahnya. Liburan puasa hingga lebaran, Ayip memang pulang ke rumah Wahid dan Alifah tapi kali ini tidak bisa.

"Abang yang sabar ya?" tiba-tiba Rahil menyeletuk.

Ayip mendongak kaget. Papanya seolah bisa melihat isi hatinya dan ia malu. "Iya, Pa."

"Abangnya Bian, Masnya Zefa...semua orang saat ini menahan kangen. Memang sih rumah Kung sama Uti di situ saja. Rumah Grandma, Grandpa, Grandmére juga Eyang Damai dan Eyang Khayrah...semua masih di Malang. Seperti kita," tambah Rahil. "Masalahnya, mereka semua sudah sepuh. Sementara virus corona ini nggak kelihatan tapi ada. Kalau awal dulu, kita bisa lihat orang yang kena covid 19 pasti batuk, demam, sesak napas. Sedang sekarang? Semua gejala itu nggak kelihatan. Semua tampak seperti orang sehat padahal sudah terpapar virus. Kita nggak pernah tahu siapa yang sakit dan sehat di luar sana, nanti kalau kita tetap nekat ke rumah mereka, takutnya justru kita yang membawa virus dan menulari mereka. Grandpa dan Eyang Damai yang pensiunan tentara pun bisa tumbang karena faktor usia yang lebih rentan. Sampai sini paham?"

Bianca, Ayip dan Zefa yang sudah mulai bosan di rumah, hanya diam tak berani bereaksi.

"Lagian, Mbak, masa nggak bisa tahan sedikit lagi. DeNa yang setiap harinya harus memakai APD lengkap saja bertahan demi kita semua. Padahal harus jauh dari keluarga," sambung Mia.

Zefa mengerjapkan kedua matanya. Kalau begitu ia tampak seperti anak kecil pada umumnya. "DeNa kenapa?"

Rahil tersenyum. "Adek lupa kalau DeNa ditugaskan masuk di tim covid? Setiap hari harus pakai baju hazmat, kaca mata google, face shield, masker N95 yang ketat dan nggak nyaman, masker bedah, sepatu berlapis-lapis itu selama beberapa jam. Manahan haus, lapar, pipis, pup bahkan gerahnya semua itu. Sama seperti tenaga medis lainnya yang kita lihat di media. Kan waktu itu pernah pamit ke Adek."

Saat Zefa mencoba memutar memorinya yang sepertinya sedikit terselip, Bianca sudah menangis sesenggukan.

"Maaf," ucap Bianca yang segera disambut pelukan oleh Mia.

Di sudut lain, Ayip juga tampak sedih walaupun tak ada air mata yang menetes. Ia ingat beberapa minggu lalu bahwa pakde Nakula memohon doa karena ditugaskan di tim covid. Saat itu dilihatnya papa dan mamanya terdiam sambil memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya memberikan dia terbaik dan dukungan sambil tersenyum.

🍦🍦🍦

"Kapan, kapan, kapan sekolah...rindu, rindu sekali. Tiap hari di rumah saja...bosan, bosan sekali i i. Tiap hari di rumah saja...bosan, bosan sekali," Bianca bersenandung dengan nada Naik Gunung sambil bergulingan di atas karpet depan TV.

Lovely BiancaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang