🍭 Kak Shabbir part. 2 👦

7.1K 829 86
                                    

Rashad menyesap teh panasnya yang sudah menghangat sambil memandang remaja kelas sembilan di depannya yang tampak gelisah dan takut. Tapi sesuatu harus dilakukan. Ia tidak ingin cucunya dewasa sebelum waktunya. Bianca, sama seperti cucu-cucunya yang lain, cukup mandiri walaupun terbilang manja. Tapi bagi keluarganya lebih baik manja dengan keluarganya sendiri daripada bermanja pada orang lain, keluarga lain atau lebih parah teman lelakinya.

Menurutnya, anak yang berani berekspresi di depan keluarganya adalah anak yang sehat jasmani-rohani bukan seperti ketam ketakutan. Baik jasmaninya tapi rusak rohaninya. Yang artinya juga kondisi keluarganya juga harmonis. Dekat satu sama lain dan saling percaya.

"Keluarga saya tidak mengenal yang namanya pacaran, Mas Shabbir. Allah larang. Lagipula, pacaran sekarang belum tentu jodoh kan? Pacaran ala anak muda, ujungnya ke mana coba? Grandpa tanya?"

"Ehm...ke...ke..." degup jantung Shabbir semakin bertambah cepat. Tenggorokannya terasa kering tapi ia bahkan tak berani minum.

"Belum ada ujungnya kan? Masih sama-sama merajut mimpi demi masa depan. Hanya menuruti kepuasan batin. Coba, bilang Grandpa, kalau pacaran ke mana? Ngapain? Paling makan, jalan-jalan atau main ke taman, ke tempat rekreasi, nonton. Iya kan?"

Shabbir mengangguk kaku. "Iya, Grandpa."

"Nah...itu." Rashad tersenyum lebar. "Apa bedanya dengan berteman? Ada kan pacaran dari SMP atau SMA hingga kuliah ujung-ujungnya nikah sama orang lain? Cuma jagain jodoh orang. Apalagi kalau perempuannya tidak perawan, si lelaki tidak mau. Tapi, yang merusak juga laki-laki. Itu namanya egois."

Shabbir terperangah mendengar ucapan frontal Rashad. Ia mendongak dengan kedua mata melebar.

"Mas Shabbir, status pacaran hanya mengikuti nafsu. Dimulai dari pegangan tangan, cium pipi-kening, usap kepala...habis itu apa? Yakin bisa nahan nafsu?" Rashad masih tersenyum ramah. "Mas Shabbir sudah lebih dewasa dari Bianca, sebentar lagi SMA, makanya Grandpa berani bicara terbuka. Sudah banyak contoh pergaulan bebas. Mas Shabbir kasih Grandpa dan Papanya jaminan pacaran sehat, misalnya, tapi sehatnya bagaimana? Masih pegangan tangan? Yakin bisa menahan diri tanpa pegangan tangan atau kontak fisik lain? Bianca kan gemesin."

Nada menantang Rashad membuat Shabbir serba salah.

"Terus kalau pacaran kan pergi-pergi tuh, nonton, makan...uangnya dari mana? Nabung? Uang saku? Atau minta orang tua? Tapi intinya tetap sama kan? Uang orang tua juga. Mas Shabbir belum punya penghasilan sendiri. Itu namanya menghamburkan uang orang tua padahal bisa ditabung atau untuk kebutuhan sekolah. Jangan lupa, masih ada banyak anak yang makan saja susah. Mau sekolah saja harus puasa karena tak punya uang saku. Bisa sekolah saja sudah syukur."

Dalam hati Shabbir mau tak mau mengakui kebenaran ucapan Rashad. Tapi Bianca juga menggemaskan bahkan melebihi kecantikan Ilana menurutnya. Bahkan Garin.

"Kami tidak ingin Bianca cepat dewasa sebelum waktunya." Rashad menghela napas dalam. "Perbendaharaan katanya tentang makna suka, kasih sayang dan cinta berbeda dengan kamu. Dia tidak mengerti naksir, cemburu atau apapun yang berkaitan dengan pacaran. Dia bilang suka karena nggak benci. Dia sayang untuk keluarga dan temannya tanpa terkecuali. Sekarang kamu masih penasaran tapi nanti kamu pasti bosan sendiri melihatnya nggak nyambung belum lagi berbagai larangan Papanya tentang banyak hal kalau kamu nekat. Ujung-ujungnya, kamu bisa saja berkata buruk tentang Bianca. Bukan suuzan tapi kenyataannya seringnya gitu. Dan yang jelas, kami nggak akan terima kalau akhirnya kamu memperlakukan Bianca dengan buruk."

Shabbir masih diam. Ia bingung harus menanggapi bagaimana.

"Mas Shabbir, seandainya pun kami izinkan, terus keasyikan pacaran, nilainya turun, mau tanggung jawab? Mas Shabbir nggak akan bisa menjanjikan apapun yang memuaskan kami. Sekarang jelas kan semuanya? Lupakan perasaan suka itu. Berteman saja lebih baik. Kalau jodoh juga nanti bertemu."

Tepat saat itu Bianca datang diantar Catur dengan sekresek weci dan es krim. Wajahnya ceria.

"Assalamu'alaikum, Grandpa, Kak Shabbir. Ini...dapat ini, weci dari Kak Andita. Nanti aku juga mau kayak Kak Andita," kata Bianca.

"Es krimnya?" tanya Rashad.

"Minta Om Catur." Bianca meringis lucu.

Rashad menatap Shabbir yang terpaku. "Eh, itu minumnya dihabiskan. Kita pulang habis ini. Mas Shabbir nanti pulangnya kita antar."

"Eh, tidak usah, Grandpa. Makasih," tolak Shabbir sungkan.

"Sudah, pokoknya kita antar."

🍦🍦🍦

Esok siangnya di sekolah, usai makan siang, Abhi sengaja mendekati Shabbir yang sedang duduk bersama teman-temannya tapi tatapannya terus mengarah ke Bianca.

"Maaf, bisa ngomong sebentar?" pinta Abhi.

Shabbir mengangguk. "Ngomong aja."

"Berdua."

"Di sini saja."

"Yakin?" wajah ramah Abhi berubah datar. "Tentang kemarin..."

"Eits!" Shabbir berubah sedikit panik dan segera bangkit, mengajak Abhi menjauh.

Keduanya akhirnya duduk di gazebo paling sudut yang sedang sepi.

"Grandpa cerita kalau kemarin ngobrol sama Kak Shabbir." Setelah mengatakan itu, Abhi menatap kakak kelasnya dengan pandangan menyelidik.

"Iya." Shabbir mengangguk kecil.

"Untung Grandpa nggak marah sama aku dan Dek Garin. Kami nggak larang Kakak dekat Bianca...sebatas teman." Kali ini Abhi bersedekap.

Shabbir mengangguk. "Ya. Grandpa kamu bilang gitu juga." Ia menghela napas dalam. "Kalian nggak sesak gitu dengan aturan seketat itu? Baru lihat ini lho aku."

Abhi tersenyum tipis. "Nggak. Ketat kan menurut orang lain. We're having fun. Keluargaku nggak ribet kok malah cenderung memanjakan. Tapi memang ada aturan-aturan tertentu yang harus kami taati. Bukan karena mereka kuno dan tukang ngatur tapi Allah larang. We love our parents because of Allah. All we do because of Allah. Jika kami terlalu mencintai diri sendiri atau sesama manusia melebihi cinta kami ke Allah, nanti Allah marah. What else? "

Shabbir mengernyit melihat Abhi dan mendengar penuturannya. Ia tidak menyangka adik kelasnya ini sangat religius. Mereka memang sekolah di sekolah berbasis agama tapi gaya Abhi lebih cenderung kalem saja. Ia semakin yakin Abhi bisa menggantikan dirinya. Ia menghela napas berat.

"Lagian sih...Adek Bian itu polos. Nggak ngerti apa-apa. Nanti Kak Shabbir capek sendiri," ungkap Abhi. "Selain itu nanti Adek Zefa pasti otomatis ngikutin dan Adek Bian nggak bisa sendirian tanpa Adek Ayip dan...aku. Yakin sanggup?"

Shabbir terperangah dan ia tak repot menyembunyikannya. "Apaan itu?"

"Berduaan nanti orang ketiganya setan. Jadi Adek Zefa menggantikan tugas setan untuk menjaga Mbaknya biar aman. Dan saat pergi ke manapun, terutama aku dan Adek Ayip, pasti diajak Adek Bian."

"Serius?" tanya Shabbir tak percaya.

Abhi mengangguk datar. "Itu juga berlaku untuk Dek Garin. Bukan karena kami kembar."

Mengetahui itu, Shabbir merasa kepalanya mendadak pusing.

💫💫💫

1001 kata

Kebanyakan dialog 😖🙈

Kalau pemilihan ketua OSIS baru prosedurnya biasanya ngapain?

Sidoarjo, 18-02-2020

Lovely BiancaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang