🍭 Corona 📱

6.7K 791 202
                                    

Lepas dari tahun baru, berita perkembangan virus mematikan yang ditemukan pertama kali di Wuhan, Tiongkok semakin gencar terutama ketika kasus pertama di Indonesia terungkap. Ada sebersit kekhawatiran Bianca karena mereka baru saja liburan dari Eropa. Atas saran Papi Sahilnya, mereka sekeluarga segera melakukan check up menyeluruh guna menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Tak ada batuk, demam dan sesak napas.

Kemudian mengingat semakin massive-nya penyebaran virusnya, yang awalnya masih bisa ditelusuri, kini sudah susah ditelusuri. Akhirnya diputuskan untuk berkegiatan di rumah saja termasuk anak sekolah.

Saat ini sudah dua minggu Bianca dan saudara-saudaranya belajar di rumah.

"Aaargh!" teriak Bianca tiba-tiba membuat Zefa dan Ayip berjengit kaget.

Ketiganya tengah belajar bersama di ruang keluarga. Buku-buku bertebaran tak karuan.

"Adek, kaget," tegur Ayip sambil mengelus dada.

"Mbak, berisik!" dumel Zefa setengah melotot.

Bianca tak menggubris keduanya. Ia berdiri dan berlari mencari Papanya seraya memegang kepalanya. "Papaaa! Kepalaku berasap!"

Rahil yang baru saja mengirim tugas untuk para mahasiswanya mendongak kaget saat pintu ruang kerjanya dibuka kasar.

"Papaaa!"

"Kenapa, Mbak?" tanya Rahil kalem.

"Kipasin, tolong!" rajuk Bianca.

"Hah! Apanya?" tanya Rahil bingung.

"Kepalaku berasap!" gerutunya sambil mendekati Papanya.

Kedua alis Rahil terangkat kemudian ia tertawa. "Kebanyakan nonton kartun!"

Bianca duduk di pangkuan Papanya dengan posisi membelakangi.

"Laaah?"

"Papa please..."

Rahil terkekeh lalu mulai memijat kepala putrinya. "Berasap opone? Memangnya panci presto?"

"Kapan sekolah lagi siiih?" keluh Bianca yang mulai merasa enak kepalanya.

"Sabar..."

"Pusing, Papa!" gerutu Bianca. "Enakan sekolah, tugasnya dikit. Ini seabrek-abrek."

"Papa juga pusing loh cari cara biar mahasiswa Papa paham walau pertemuan via daring atau email," sahut Rahil kalem. "Guru kamu juga pasti pusing, kerjaan mereka jadi dobel. Kasih tugas ke kalian, mengoreksi tugas kalian, masih harus melaporkan tugas kalian juga. Jangan dikira guru nggak pusing lho, Mbak. Lebih enak menerangkan di kelas dan mengoreksi tugas di atas lembar kertas daripada via hape. Bikin sakit mata."

"Ish, Papa!"

"Nggak boleh ngeluh. Mbak Bian harus besyukur Papa masih bisa belikan pulsa buat sekolah daring, coba bayangkan teman-teman yang lain? Bahkan ada yang nggak punya fasilitas hape atau laptop. Punya hape tapi perangkatnya nggak sesuai. Demi sekolah, orang tuanya terpaksa berhutang buat beli hape baru," nasehat Rahil masih memijat kepala putrinya. "Padahal situasi seperti ini ekonomi mulai susah. Mbak juga masih bisa makan enak kan?"

Rahil memang tidak marah, tapi kesadaran Bianca perlahan membuatnya meneteskan air mata. Ia baru sadar, keluhannya terkesan sombong sekali. Padahal Allah tak menyukai umat-Nya yang sombong dan orang tuanya tak mengajarinya sombong.

"Demi kebaikan Mbak sendiri kan kita di rumahkan?" tambah Rahil yang diangguki Bianca sambil sesekali menyeka air matanya.

"Tapi kepalaku penuh," kata Bianca lirih.

Lovely BiancaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang