🍭Daftar Sekolah📝

9.4K 812 53
                                    

Rahil dan Mia berbagi tugas saat mendaftarkan ketiga anak mereka. Rahil mengantarkan Ayip ditemani Wahid, Mbah Kungnya sedangkan Mia mengantarkan Bianca dan Zefa.

Bianca dan Zefa mendaftar di sebuah SMP swasta berbasis agama. Walaupun tampak elit dari luar tetapi sekolahnya sangat bersahabat terhadap siapapun terutama mereka yang ingin sekolah tapi terbentur masalah biaya. Selain tes akademik untuk mengukur kemampuan akademik juga terdapat tes wawancara.

Mia tidak khawatir dengan semua tes tersebut. Yang ia khawatirkan adalah usia Zefa yang terlampau muda. Zefa bisa satu angkatan dengan Bianca setelah loncat kelas dua kali.

Setelah seluruh siswa selesai tes wawancara, ternyata Mia dipanggil panitia dan memasuki ruang wawancara anak-anaknya.

"Assalamu'alaikum, Ibu..." sapa seorang lelaki berwibawa berbadan subur.

"Wa'alaikumussalam. Mia. Ibu Mia." Jawab Mia berusaha tegar padahal gugup setengah mati.

Lelaki tersebut tersenyum. "Saya Handoko, kepala sekolah disini. Ibu tidak usah tegang. Kita ngobrol sedikit."

Mia tersenyum tipis.

"Di antara semua, saya cukup tertarik dengan Huzefa Izyan Aditya dan..." Handoko mengintip berkas di depannya. "Bianca Farzana Aditya yang ternyata bersaudara. Kandung?"

Mia mengangguk. "Kandung."

"Selain itu...awalnya saya pikir ada dua nama yang kebetulan sama tetapi ternyata tidak. Dan Huzefa yang kita bahas ini adalah Huzefa yang sama peraih NEM tertinggi se-SD Jatim, benar?"

"Alhamdulillah benar." Mia mengangguk lagi.

"Masya Allah. Luar biasa." Puji Handoko dan dua orang yang lain. "Saya terharu sekaligus speechless Huzefa memilih sekolah disini ya walaupun alhamdulillah sekolah ini akreditasinya A."

Mia menunggu.

"Saya hanya penasaran, kenapa Huzefa langsung memilih sekolah disini? Biasanya siswa akan memilih Negeri dulu apalagi nilai Huzefa tinggi."

Mia tersenyum. Rasa gugupnya perlahan menghilang tapi masih waspada. "Kami tidak pernah membedakan sekolah A dan sekolah B, Bapak, Ibu." Ia terdiam sesaat. "Kami memberikan arahan memang tentang sekolah-sekolah mana saja tetapi kami bebaskan mereka memilih mau belajar dimana."

"Dan jawaban Huzefa malah memilih sekolah disini karena saudara-saudaranya sekolah disini." Handoko tersenyum. "Saat ditanya selain itu apa? Jawabnya tergantung kondisi karena semua sama bagusnya. Di sini tak ada ekstrakurikuler karate dan sepak bola sementara ikut salah satu ekskul itu wajib. Apakah Huzefa bisa mengikuti?"

Mia mengangguk. "In syaa Allah bisa."

"SD dan SMP berbeda, apakah Huzefa bisa beradaptasi?"

"In syaa Allah bisa. Papanya juga masuk SMP di usia yang sama. Zefa anak yang bertanggung jawab."

"Begitu?" Handoko manggut-manggut. "Baik, terima kasih atas informasi tambahannya. Silahkan menunggu hasilnya empat hari lagi."

"Sama-sama."

Mia bangkit lalu pamit keluar. Dalam hati ia tak tenang. Takut Zefa tidak diterima.

"Mama, kenapa dipanggil?" Tanya Zefa yang menyongsong kedatangan Mamanya bersama Bianca.

Mia tersenyum dan membelai rambut putranya. "Adek sudah sebesar ini ya? Sebentar lagi setinggi Papa. Yuk pulang dulu."

"Mamaaa..." rajuk Zefa.

"Kita omongin di rumah. Yuk pulang." Ajak Mia sekali lagi.

Mau tak mau Bianca dan Zefa pun menurut.

Lovely BiancaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang