🍭 Sebuah Kabar 🔊

7K 745 71
                                    

"Bianca, kamu masih ingat Fajri nggak? Teman SD kita yang pindah saat kelas tiga," tanya Caca ketika mereka makan siang. "Semalam aku diberitahu, dia meninggal."

Bianca terdiam. Bengong. Seolah-olah Caca tengah bicara dalam bahasa asing. Ingatannya langsung kembali di hari terakhir ia bicara dengan Fajri di sekolah yang sama.

"Bianca, aku sebentar lagi mau pindah sekolah," kata Fajri di tengah-tengah kerja kelompok.

Tempat duduk kelas Bianca di kelas tiga berkonsep kelompok yang terdiri dari enam siswa. Tiga perempuan dan tiga laki-laki. Kebetulan ia bersebelahan dengan Fajri.

Di antara semua teman sekelas, Fajri bukan teman paling dekat. Malah terkadang suka mengganggunya, mulutnya jahil tapi tidak kasar, tapi di antara teman laki-laki, Fajri yang paling sering menyapa dengan senyum sekalipun saat bertemu di luar sekolah.

Bianca menoleh kaget dengan pemberitahuan itu. Ia yang sedang menggambar peta Sulawesi langsung berhenti. "Kapan? Kenapa?"

Fajri menyeringai tanpa beban. "Sebentar lagi pokoknya. Ya nggak kenapa-kenapa sih. Mau pindah rumah di Lawang."

"Jauh."

Fajri mengangguk sambil menyeringai jahil. "Nggak ada teman yaa?" godanya.

"Idih. Ngapain? Masih ada Caca sama Ayip. Weee..." balas Bianca tak mau kalah.

Fajri tertawa saja dan mereka melanjutkan pekerjaan mereka.

Beberapa hari setelah itu, Fajri betul-betul pindah sekolah. Dan selama masa SD, ternyata ia masih bertemu dengan Fajri di berbagai kesempatan. Seperti biasa, masih menyapa dengan senyum lebar dan tatapan jahilnya. Hanya saja saat kelas enam yang paling jarang bertemu.

Dan hari ini Bianca mendengar kabar bahwa teman SDnya itu meninggal dunia.

"Adek?" panggil Garin khawatir sambil menyentuh pundaknya.

"Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun," Bianca yang baru tersentak sadar, langsung berucap lirih.

Setelah itu ia tak berkata apa-apa lagi, hanya makan dalam diam. Tapi semua bisa melihat duka di mata Bianca.

"Nanti, pulang sekolah kita takziah," bukan pertanyaan tapi pernyataan dari mulut Bianca.

"Iya," Caca mengangguk.

"Adek, maaf ya nanti Mas Abhi nggak bisa ikut. Ada rapat OSIS dengan pembina," ucapnya yang hanya dibalas dengan anggukan.

"Namanya mirip namaku ya..." celetuk Ayip.

Bianca seketika mendongak dan menatap Ayip tajam.

"Setiap yang bernyawa pasti akan mengalami mati. Bukan karena usia tapi memang waktunya mati. Kita nggak pernah tahu kapan waktu itu datang," kata Abhi. "Kita hanya harus semakin dekat sama Allah."

Bianca mengangguk.

Garin yang ada di sampingnya langsung memeluknya. "Semua kan masih ada di sini. Ya? Je t'aime, Adek. (Aku mencintaimu)"

"Je t'aime aussi. (Aku mencintaimu juga)" balas Bianca dengan senyum sedikit merekah.

🍦🍦🍦

Pulang sekolah semua ikut takziah termasuk Caca kecuali Abhi. Rombongan Bianca disambut oleh kerabat almarhum Fajri. Mereka diberitahu bahwa Fajri meninggal akibat tipes.

Pulang dari takziah, Bianca masih murung.

"Mbak kenapa coba? Es krimnya habis?" tanya Rahil saat makan malam dan mendapati wajah putrinya ditekuk saja.

Lovely BiancaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang