🍭 Viral 📲

6.9K 668 64
                                    

Tanpa terasa sudah mendekati penilaian tengah semester. Tapi di rumah Rahil yang rajin belajar justru hanya Ayip. Sedang Bianca dan Zefa malah sukanya main.

"Capek, Papaaa..." keluh Zefa.

Rahil hanya mampu menghela napasnya. Zefa memang memiliki kecerdasan di atas rata-rata tapi ia tidak ingin putra bungsunya meremehkan pelajaran. Apapun itu. Sedangkan Bianca tipe yang masih harus mengulang beberapa kali tapi kadang suka lupa juga. Berbeda dengan Adiknya, pemahaman sosial dan bahasanya lebih menonjol daripada sains dan Rahil tak mau memaksakan anak-anaknya wajib juara secara akademis. Karena setiap orang memiliki kemampuan di bidang yang berbeda. Yang ia tekankan hanya prioritas sebagai pelajar.

Sikapnya mengenai anak-anak jauh lebih protektif daripada Papanya dulu karena ia khawatir dengan pergaulan zaman sekarang.

"Yang penting Adek tahu kan apa yang Adek lakukan hari ini bekal masa depan nanti. Kita nggak pernah tahu nanti Papa sama Mama masih hidup atau tidak, seperti Mas Ayip..." nasehat Rahil.

Zefa mengangguk. "Iya."

Dan ketika Zefa bermain itu betul-betul bermain olah fisik. Tak sekedar duduk main game.

"Ya sudah." Rahil mengusap kepala Zefa. Ia tidak mungkin marah karena sejatinya si bungsu masih kecil. Lagipula dulu pun ia juga sering bermain saja dengan anak-anak prajurit yang lain. Atau Om-Om tentara yang bebas tugas.

Tak butuh waktu lama, Zefa pamit dan melesat untuk main dengan anak-anak tetangga. Katanya akan main bentengan di lapangan kompleks.

Sekitar tiga jam kemudian, Zefa pulang dalam kondisi dekil, berantakan dan penuh keringat. Sampai rumah langsung mandi.

"Main apa, Dek?" tanya Mia. Ia dan si bungsu tengah duduk di ruang keluarga.

"Bentengan sama nekeran. Capek lagi deh..." tapi wajah Zefa tampak puas. "Mbak Bian sama Mas Ayip mana?"

"Main monopoli di rumah depan," jawab Mia.

Zefa memang memiliki teman-teman yang berbeda dengan Ayip dan Bianca. Walaupun kadang Ayip dan teman-teman lelakinya bermain dengan Zefa dan teman-teman lelakinya yang merupakan anak-anak SD kelas tiga sampai lima.

"Mama, Mama...tadi sebelum pulang, kita nonton video, Ma. Reza kan bawa hape ya terus tunjukin ke kita," cerita Zefa.

Mia mengernyit. "Video apa?"

"Katanya lagi viral gitu, Ma. Ada tiga orang ya. Mereka main lompat di tempat gitu. Dua di kanan-kiri lompat duluan sambil angkat tangan baru yang tengah nyusul. Begitu yang tengah lompat eh sama teman-temannya, kakinya dijegal gitu sampai jatuh kejengkang. Kan sakit ya, Ma, pantat sama kepalanya?" Zefa menjelaskan dengan tatapan polos. "Olah raga mendarat salah posisi saja sakit."

"Ya Allah, Adek...kamu nonton apa, Nak?" pekik Mia panik. "Iya, itu sakit dan sangat berbahaya. Nggak lucu sama sekali. Kena kepala bisa gegar otak, kena tulang ekor bisa lumpuh. Adek nggak boleh ikutan gitu ya?"

Zefa mengangguk.

🍦🍦🍦

Usai makan malam, Rahil mengumpulkan semua di ruang keluarga. Ia ingin membahas video yang katanya sedang viral. Ia dapat kiriman dari Nakula, sepupunya yang seorang dokter polisi.

"Iya, Pa. Tadi aku sama Abang dikasih lihat video itu." Bianca mengangguk.

"Aku juga," sambung Zefa.

"Kok gitu ya? Aku dipukul Adek Bian aja sakit...itu malah dijegal kakinya..." gumam Ayip.

"Abang ih!" Bianca melotot dengan bibir manyun.

Lovely BiancaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang