Bab 1 Aina berat melangkah

14.8K 382 7
                                    

Adzan Subuh samar-samar terdengar dari telinga Aina. Pintu kamar yang pasti berbunyi ketika ada yang membuka dan menutup. Mata Aina belum juga terbuka. Kantuk berat ia rasa. Tak berapa lama, ada yang menarik kakinya. Seperti biasa. Begitulah cara ayah membangunkannya dan adiknya, Fitiya. "Jangan telat sholat subuh ya, anak-anak. Ayah pergi ke mesjid." Aina dan Fitiya bangun perlahan. Ia tahu, alarm ayah adalah hal paling jitu. Aina menarik tangan Fitiya. Bergegas keduanya bangun, menyalakan lampu kamar, dan menuju ke kamar mandi, bergantian. Aina masuk ke kamar mandi lebih dulu. Fitiya duduk di depan kamar. Rupanya kantuk masih saja melekat di matanya. Aina keluar kamar mandi, memakai sandal sholat yg ia letakkan di atas keset depan pintu sebelum ia masuk ke kamar mandi.

"Tiy, ayo jamaah. Ayoo, buruan. Keburu ayah datang." Fitiya membuka mata seakan-akan itu sebuah mantra ampuh untuknya masuk ke kamar mandi. Tak lama, Aina dan Fitiya sholat subuh berjamaah. Setelah salam, dzikir, dan berdoa bersama. Aina menggeser posisi duduknya ke arah Fitiya. "Jadi, Ayah bakal masukin aku ke pesantren mana?", Tanya Aina. Fitiya menggeleng. Sebenarnya, Aina pernah berbicara dengan sahabat-sahabatnya. Mereka sepakat untuk bisa berada dalam 1 pesantren. Agar tak susah beradaptasi dengan lingkungan baru. Tapi ia tahu ayahnya punya rencana untuknya. Ayah paling keras bila memilih sekolah. Aina sadar, ia tidak mungkin bersikukuh dengan Ayahnya karena hal itu pasti terbantah dengan banyak teori.

Aina dan Fitiya bergegas ke kamar. Merapikan kamar, membersihkan rumah, memasak nasi dan menyiapkan sarapan. Ibu Aina sedang pergi keluar kota ke rumah saudaranya. Walhasil, hanya mereka bertiga dan seorang asisten rumah yang datang rutin tiap pagi hingga sore untuk membantu mengurus pekerjaan rumah.

Pisang goreng dan kopi panas di atas meja di serambi depan rumah. Koran terlipat yang batu diantar juga turut berada di antara makanan tersebut. Rutinitas yang setiap pagi dilakukan Aina untuk ayahnya. "Aina.", Panggil ayahnya. Aina bergegas ke depan rumah. "Iya ayah.", Ayahnya menoleh dan mempersilahkan ia duduk disampingnya. "Minggu depan. Ayah akan antar Aina ke Pesantren Nurul Hikmah. Ibu sudah ayah beritahu. Ibu setuju dengan keputusan ayah. Semoga di tempat itu, Aina jadi lebih baik lagi." Aina diam. Lalu mengangguk. "Aina gak suka?" Tanya ayahnya. "Hmm... Gak ayah. Kalau ayah suka. Aina juga suka." Aina menjawab pelan. "Ayah tahu, jawaban Aina. Banyak sahabat Aina yang tidak memilih disitu kan?", Ayah Aina tahu bagaimana reaksi anaknya. Wuri, Qoni, dan Nat, sahabat Aina memang berencana akan ke Pesantren Kalam Nur. Mereka berempat berencana untuk tetap bersama-sama. Tapi dengan keputusan ayah, tak mungkin Aina menyangkal harus pergi ke tempat sahabat-sahabatnya itu.

Aina menghela napas. Ayahnya membaca koran, mungkin ia tahu anaknya merasa berat hati. Tapi suatu saat, Aina akan belajar menerima karena keputusan ayah bukan keputusan yang dipikirkan dalam waktu singkat. "Ayah, Aina khawatir dengan Ibu. Pengobatannya masih beberapa bulan lagi,kan?. Aina ingin temani ibu. Apa tidak bisa Aina ke sekolah umum biar bisa pulang ke rumah?", Aina bertanya. Ayahnya diam sambil meneruskan membaca koran. "Ibu adalah tanggung jawab ayah. Aina dan Fitiya fokus pada sekolah." Ayahnya tidak meneruskan pembicaraannya. Kata-kata ayah seperti ultimatum untuknya. Ia tidak akan membela. Semua pasti sudah terencana. Walau berat. Aina hampir meneteskan air mata. Ia tahu, akan ada waktu yang berat ia jalani karena ada kekhawatiran lebih untuk ibunya.

Setelah liburan panjang kelulus dari Madrasah Tsanawiyah, dan persiapan masuk pesantren baru. Akhirnya tiba saatnya Aina masuk ke Pesantren Nurul Hikmah, menempuh pendidikan Madrasah Aliyah atau setingkat sekolah menengah atas. Ia diantar ayah dan ibunya, seperti santri baru lainnya. "Sayang. Aina sudah pernah masuk pesantren saat MTs kan? Gak banyak yang berbeda insyaAlloh. Aina bakal punya sahabat yang banyak dan pengalaman yang banyak di sini." Sebulan lagi, Ayah sama Ibu pasti jenguk Aina. Setelah dari pondok Fitiyah, Aina jadi jujukan terakhir. Dengar kata Murobbi (guru) ya,nak?" Ibu Aina memberi pesan. Ayah hanya diam saja. Aina sudah terbiasa dengan pondok pesantren, hanya yang sedikit membuat berat adalah, keadaan ibunya yang memang harus rawat jalan menjalani pengobatan penyakit dalamnya. "Aina dengar kata ayah ibu. Doakan Aina ya. Maaf sudah merepotkan ayah ibu selama ini." Air mata Aina turun juga. Ia tahu, berpisah sementara dan jauh dari keluarga adalah hal yang memang tidak nyaman untuk dijalani. Tapi apapun itu, ia tidak memungkiri, sebuah kebanggaan orang tua dalam menitipkan anak-anaknya ke sebuah pesantren adalah bentuk tanggung jawab tinggi. Aina tahu, ini juga penting untuk dirinya.

"Ayah akan menangis setiap sholat ketika mengantar Aina dan Fitiyah. Ia bisa menahan saat mengantar kalian. Tapi tidak saat sholat. Percaya sama Ibu. Aina dan Fitiyah adalah berlian keberuntungan ayah ibu. Bantu Ibu dan Ayah untuk jadi anak sholiha ya,nak?!" Bisik ibunya sambil mengusap air mata Aina.

Sebuah pengumuman dari pengeras suara terdengar. Para santriwati harus segera masuk ke kelas masing-masing untuk pembekalan. Saatnya berpisah dengan keluarga mereka. Aina memeluk ayah dan ibunya. Ia lalu masuk ke lingkungan pesantren dengan langkah goyah karena masih teringat bagaimana wajah ibunya saat sakit melanda. Ia masih khawatir dan terus takut tidak bisa menemani ibunya.

Ia duduk di sebuah kelas. Bersama banyak santriwati di dalam. Ia duduk bersebelahan dengan seorang teman baru. Mereka tersenyum, berjabat tangan, lalu berkenalan. "Aina." Sapa Aina terlebih dahulu. "Lutfa", balas temannya. "Sudah pasti santri satu dan santri yang lain punya kesamaan. Sama-sama perantauan. Untuk itu mengapa para santri di pesantren sangat dekat. Karena jauh dari keluarga. Yang mereka punya adalah teman-teman satu pesantren. Semoga saling membawa kebaikan ya, Aina." Kata-kata Lutfa menyejukkan. Ia seperti bertemu dengan penghibur di saat ia benar-benar butuh. 'Allah Maha Penyayang', batinnya.

Aina dan Lutfa menjadi teman 1 kamar bersama 2 santri lainnya. Lita dan Putri.
Ke empatnya lalu berbaur dan berbagi cerita asal muasal mereka agar lebih dekat dengan teman yang lain. Memadukan visi misi dan mencoba menata hati karena masih lekat sedih yang baru saja ditinggal keluarga pergi.

Aina, Lutfa, Lita dan Putri akan menjalani hari-hari mereka menjadi sahabat satu kamar dengan berbagai cerita.

Ustadz, jangan jatuh cinta padaku [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang