28 - Him

484 73 3
                                    

8.15 P.M.

Gadis itu memandang sendu Tower Namsan yang berdiri menjulang di atas bukit sana. Walaupun angin malam yang terasa dingin menerpa tubuhnya, ia tak peduli. Ia lebih memikirkan nasibnya saat ini. Gara-gara Tower itu, kecelakan yang ia benci terjadi. Ah, tidak. Andai saja Eunseo tidak egois meminta orangtuanya merayakan hari kelulusannya di Tower Namsan itu, kecelakaan tidak akan terjadi. Nasibnya saat ini pun, tidak akan seburuk ini.

Tapi memikirkannya hanya akan membuatnya terus merasa sakit. Kali ini, Eunseo bertekad untuk melupakan semua kejadian yang menyakitinya. Ia tidak akan menyalahkan dirinya lagi-mengingat hal itu sudah direncanakan oleh Tuhan. Ia harus menerima semua kenyataan dan menjadikan hal itu sebagai sebuah pelajaran.

Dihembuskannya napas dengan cepat, lalu gadis itu melangkah lebih dekat pada pagar rooftop. Ia menggenggam erat pagar yang tingginya hanya se-dadanya. Ia mencoba tersenyum se-lebar mungkin, melupakan kejadian buruk itu dan mencoba berpikir positif. Semuanya sudah terjadi. Sudah. Eunseo hanya perlu mempersiapkan diri untuk masa mendatang.

Ngomong-ngomong, sampai malam ini Renjun belum juga mengabarinya. Gadis itu bertanya-tanya dalam hati sambil memandangi layar ponselnya. Apakah Renjun sibuk? Apakah dia sudah makan? Apakah dia ketiduran karena lelah? Apakah dia masih mencari Chenle, temannya? Ah, ya, Chenle. Menghilangnya laki-laki itu cukup membuatnya frustasi. Ia kembali memikirkan kasus itu setelah ia bertemu dengan Renjun kemarin siang di cafe.

Jika berita itu benar bahwa Chenle tidak meninggalkan Korea, lalu kemana dia? Bahkan sudah lebih dari dua minggu, polisi belum juga menemukannya. Tiba-tiba saja, pikiran tentang kematian Jisung dan Mark muncul diotaknya. Bagaimana jika Chenle di bunuh dan jasadnya sudah di kubur oleh si pelaku?

"Bisa jadi," gumam Eunseo sambil mengetukkan kuku jari telunjuknya pada pagar. Gadis itu pun, membuang napas lagi, "Gue butuh Renjun."

Baru saja memikirkan laki-laki itu, tiba-tiba saja ponsel Eunseo berbunyi. Ada satu pesan dari-oh, itu Renjun. Baguslah, akhirnya dia mengabari Eunseo.

Renjun

Renjun

|Kalo lo free, temui gue di cafe yang kemarin, sekarang
8.20 p.m.

Eunseo
Oke, ngga lama|
8.20 p.m.
read.

Eunseo bergegas masuk ke dalam rumahnya, mengambil jaket bomber dan tas slempangnya, lalu berpamitan pada Yuqi yang tengah menonton televisi sambil memakan kudapan.

"Qi, gue pergi dulu. Bentar doang," pamit Eunseo yang membuat Yuqi bangkit dari rebahannya.

"Kemana?" tanya Yuqi.

"Ada urusan. Tolong jaga rumah ya? Dah!"

"Ati-ati."

Eunseo tak merespon lagi. Ia sudah buru-buru menutup pintu. Ia pun menuruni tangga dengan tergesa-gesa karena tidak ingin membuat Renjun menunggu lama. Namun, Eunseo masih harus berlari ke halte untuk menunggu bus. Tak butuh waktu lama untuk menunggu, bus pun datang. Ia masuk ke dalam bus itu, menempelkan T-money pada card reader untuk pembayaran, lalu duduk di dekat jendela. Beberapa menit kemudian, ia sampai pada sebuah halte yang berseberangan dengan cafe yang Renjun maksud.

Namun, Eunseo harus menyeberang pada zebra cross yang tak jauh darinya. Setelah lampu untuk pejalan kaki menyala hijau, Eunseo pun melangkah cepat. Cafenya tidak begitu jauh dari perempatan lampu merah. Setelah sampai, Eunseo membuka pintu cafe dan mencari-cari keberadan Renjun. Oh, dia di sana, duduk di pojok ruangan, tentu saja sendirian.

[COMPLETED] CRIMINALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang