Bintang tiba di rumah pukul lima sore. Hari ini benar-benar sangat melelahkan baginya. Satu sekolah sibuk mem-bully dan memaki-maki dirinya. Belum lagi perkataan kepala sekolah yang membuat kepalanya terasa pening.
"Aku pulang."
Brak!
Bintang terkejut ketika Herman melempar pot bunga kaca kearahnya. Pecahan kaca berserakan tepat di bawah kaki Bintang.
"Pa!" Bintang sedikit berteriak, bagaimana kalau dia terluka?
Herman mengepalkan tangannya kuat dan menghampiri Bintang. "Dasar anak kurang ajar!" teriaknya marah, lalu menyeret Bintang dan mendorongnya hingga membuat kepala Bintang terbentur pada kursi.
"Mas!" Itu adalah suara Arin yang baru saja datang bersama Bulan. Arin segera berlari menuju putrinya. "Apa yang kamu lakuin, Mas?"
"Anak ini sudah keterlaluan, Arin. Dia benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya. Dia cuma bisa membuat masalah dan mencoreng nama baik keluarga."
Herman melempar dua amplop putih kepada Arin. "Kamu baca itu, surat panggilan orang tua yang sekaligus datang dari dua sekolah. Dan semua itu ulah anak ini!" Herman menunjuk kearah Bintang penuh amarah.
"Pa, ini bukan sepenuhnya salah Bintang juga. Bintang cuma—"
"Cuma apa, hah?"
"Dengerin dulu penjelasan Bintang, Pa."
"Tidak perlu kamu jelaskan apapun lagi, karena hasilnya akan tetap sama."
Bintang tersenyum kecut. "Lagian kapan, sih, Papa pernah dengerin penjelasan aku. Gak pernah sama sekali, kan. Kalo aku salah, akan selamanya salah di mata Papa. Kalo pun aku benar, selalu salah juga di mata Papa. Jadi apa pun yang aku lakuin gak pernah ada benarnya buat Papa."
"Bintang!" bentak Herman.
"Bintang ngelakuin semua ini juga buat kebaikan Bulan, bukan buat keuntungan pribadi." Bintang menatap kakaknya. "Lu gak mau belain gua, Lan? Kenapa, sih? Apa pun tindakan yang gua lakuin selalu salah, padahal gua lakuin ini demi lu. Kenapa?"
"Cukup, Bintang!"
Plak!
Herman menampar pipi Bintang sangat keras, meninggalkan bekas kemerahan di sana.
Bintang menatap tajam ke arah Papanya. "Untuk pertama kalinya, Bintang bener-bener kecewa sama Papa. Kenapa Papa gak bisa membedakan antara yang salah dan benar, Pa. Kenapa selalu aku yang salah? Aku juga capek, Pa, capek! AKU BENCI HIDUP KAYAK GINI!" teriaknya, setelah itu Bintang berlari ke kamarnya dan mengunci diri.
"Semua orang jahat!" lirih Bintang sambil terisak pelan.
***
Keesokan harinya, Herman datang menemui kepala sekolah Nusantara dan Arin pergi ke SMA Pandu untuk memenuhi surat panggilan sekolah selaku wali murid dari kedua putrinya.
Permasalahan yang mereka bicarakan cukup serius. Kedua kepala sekolah sudah memutuskan untuk memberikan hukuman kepada Bulan dan Bintang berupa skors selama seminggu penuh.
Arin merasa semua ini tidaklah adil untuk putri-putrinya, ia pun menentang keputusan tersebut. "Ini gak benar, Pak. Yang salah di sini bukan cuma putri saya, tapi Sella juga. Dia sudah merundung anak-anak yang lainnya, Pak. Bapak harus bersikap tegas sama Sella, Pak. Semuanya harus adil, kalo anak saya dihukum, kenapa Sella tidak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan dan Bintang [On Going]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA!] [UPDATE SETIAP SABTU PUKUL 20.00 wib] Berkisah tentang Bulan dan Bintang, dua gadis kembar dengan karakter yang bertolak belakang, mendatangkan alur cerita baru dalam kehidupan keduanya. Kehidupan dua remaja itu dipenuhi...