1. Retak

3.7K 114 7
                                    

#Bintang's POV

"Harusnya kamu tiru kakak kamu Bulan, dia selalu bersikap tenang dalam situasi apapun. Papah tidak mendidik kamu untuk jadi pembangkang seperti ini, Bintang! Bisa-bisanya kamu, seorang anak perempuan ikut tawuran? Papah benar-benar tidak habis pikir! Sia-sia selama ini papah menyekolahkan kamu mahal-mahal!"

Stop, cukup! Aku capek begini terus. Kenapa Papah selalu banding-bandingin aku sama Bulan? Plisss, aku capek.

"Kalo kayak gini terus caranya, Papah akan kirim kamu ke Korea!"

"Ya, silakan, Pah. Buang aku sejauh mungkin, ke Korea, Turki, Amerika, silakan! Toh, buat apa terus di sini kalau kelakukan Papah tiap harinya cuma bisa banding-bandingin aku sama Bulan. Aku capek, Pah, aku capek!"

"Oh, udah berani, ya, sekarang kamu lawan Papah!"

"Iya, kenapa? Papah mau pukul aku?" Bukannya mau jadi anak durhaka yang melawan orangtuanya, aku cuma mau buat Papah sadar kalo selama ini sikapnya sangat melukai hati aku.

Aku bisa melihat, Papah mengepalkan tangannya kuat-kuat. Mungkin tangan Papah sudah gatal ingin memukul ku.

"Mas, udah, Mas. Kita bicarain baik-baik, jangan kasar sama Bintang." Itu adalah Mamah yang buka suara untuk membelaku. Tapi sayangnya, aku sama sekali tidak senang Mamah membelaku. Karena kenyataannya Mamah tidak bisa membuat amarah Papah mereda.

"Pah, Bulan mohon, tolong maafin Bintang, ya."

Sial, kenapa Bulan harus angkat bicara, sih? Dan sialnya lagi, Papah langsung menuruti permintaan Bulan supaya memaafkanku.

"Yaudah, karena Bulan yang minta, kali ini Papah maafin kamu. Tapi kalo sekali lagi kamu melakukan kesalahan yang sama, Papah akan langsung kirim kamu ke Korea. Ingat itu, Bintang!"

Dikirim ke Korea? No, lebih tepatnya dibuang. Ini tidak adil untukku. Kenapa Papah berlaku tidak adil padaku, sementara pada Bulan, Papah selalu mengutamakan kepentingannya.

Bulan menatap kearahku, sedangkan aku hanya bisa membuang muka kearah lain. Percayalah, aku tidak setegar itu.

"Bintang, kamu jangan dengerin kata Papah, ya. Papah ngomong gitu karena Papah lagi emosi, kamu harus maklumin Papah, ya."

Aku tersenyum getir. "Maklumin kata lo? Enak banget ya lo ngomong gitu. Lo mikir gak sih gimana perasaan gua, ha? Lo tau gak betapa sakitnya hati gua karena setiap detiknya Papah selalu banding-bandingin gua sama lo. Selalu lo yang Papah banggain, apa-apa lo, seakan dunia cuma berputar mengelilingi lo doang. Sedangkan gua, gua cuma Bintang redup yang kesepian, gak ada apa-apanya kalo dibandingkan sama Bulan yang selalu bersinar terang. Capek, gua capek, Lan. GUA CAPEK!"

Bulan tersentak karena bentakanku. Ayolah, kenapa aku jadi lemah begitu melihat tatapannya yang penuh iba itu.

"Bintang, kenapa kamu ngomong gitu?"

"Lo masih nanya kenapa? Lo ngerti gak sih apa yang gua omongin tadi? Katanya lo pinter, ranking pertama di sekolah, tapi omongan gua aja lo gak bisa nangkep, stupid itu namanya."

"Bintang!" sentak Mamah yang tiba-tiba datang menghampiri kami.

"Kenapa kamu bicara kayak gitu sama Bulan, ha? Bulan itu saudara kamu, gak pantes kamu ngomong kasar sama dia."

Aku menatap Mamah dengan tatapan lelah. "Tuh, kan, tadi Papah sekarang Mamah. Kenapa sih kalian berdua lebih belain Bulan ketimbang aku? Apa cuma Bulan yang lebih pantas dapat kasih sayang kalian, aku enggak?"

Wanita cantik bernama Arin yang aku sebut Mamah itu, menggenggam tanganku dengan sentuhannya yang lembut. "Bukan gitu maksud Mamah, Sayang. Mamah gak ada maksud untuk lebih membela Bulan. Tapi Mamah cuma gamau melihat anak-anak Mamah bertengkar dan saling membenci. Kalian harus ingat janji masa kecil kalian, Bulan dan Bintang akan saling menjaga satu sama lain. Karena kalian adalah dua raga satu jiwa. Ingat itu, kan?"

Bulan dan Bintang [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang