Pernah tau rasanya terbang tinggi menembus awan lalu jatuh dihempaskan begitu saja di atas tanah? Itu lah yang Ale rasakan saat ini begitu keluar dari ruang guru. Seminggu yang lalu dia baru saja diberi kabar kalau dirinya yang akan mewakili sekolah untuk olimpiade matematika tingkat provinsi. Tapi hari ini, saat Ale memasuki ruang besar yang paling tidak disukai murid-murid itu, senyuman yang biasa dia tunjukkan langsung luntur begitu saja.
"Ale, sepertinya Ibu akan gantiin posisi kamu dengan Bianca, ya? Setelah Ibu pikir-pikir, baiknya kamu ikut olimpiade selanjutnya saja. Gimana menurut kamu, Le?"
Ale bingung harus menjawab apa. Dia marahㅡmerasa bahwa semua yang baru saja terjadi benar-benar tidak adil. "Tapi Bu... saya pikir saya yang dipilih dan udah pasti ikut olimpiade. Kok Ibu nggak kasih tau saya dari jauh-jauh hari? Saya bahkan udah latihan sama Pak Heri sekitar satu mingguan."
"Iya, Ale. Ibu tau ini mendadak, tapi ini sudah keputusan dari kepala sekolah. Pihak kesiswaan dan kepala sekolah pasti sudah diskusi tentang ini." Ale hanya bisa membalas ucapan gurunya itu dengan senyuman. "Kalo emang baiknya Bianca yang ikut ya sudah, Bu. Ale yakin kalo itu keputusan yang paling baik." Dia kemudian pamit dan kembali ke kelasnya di lantai tiga.
Kejadian seperti ini seharusnya sudah bisa Ale duga. Olimpiade itu memang kunci emas untuk masuk ke universitas favorit. Menyedihkannya, Ale tersingkir hanya karena teman angkatannya itu punya koneksi khusus dengan kepala sekolah. Ale tersenyum remeh saat mengingat ucapan gurunya tadi. 'Setelah Ibu pikir-pikir, baiknya kamu ikut olimpiade selanjutnya saja.' Apa gurunya itu sedang bercanda? Ale sudah kelas 12 dan dia berada di penghujung semester ganjil, olimpiade seperti apa yang dimaksud gurunya itu?
"ALE!" panggil Safhi, sedikit berteriak karena sahabatnya itu tidak juga mendengar panggilannya. "Lo kok lama banget? Bentar lagi balik, lo mau cabut? Udah ketemu Bu Ayi belom sih?"
"Fhi,"
"Fhi, gue..."
Safhi melotot. "Ada yang nggak beres ya, Le? Yaudah lo cabut aja ya, enjoy dulu. Nanti gua bilang lo masih ngadep Bu Ayi." balasnya lagi. Ale tersenyum, "Thanks, Fhi."
Setelah itu, Ale memutuskan untuk pergi mencari angin. Seminggu ini dia terlalu sibuk latihan untuk olimpiade dan rapat osis, ketemu Adrian pun jarang. Ya, memang karena pacarnya itu sudah kuliah juga sih... jadi intensitas tatap muka pastinya berkurang dibanding waktu masih satu sekolah. Tapi untuk sekarang ini, bertemunya mereka berdua bisa dihitung dengan jari selama dua bulan terakhir ini.
Secara tidak sadar, Ale sudah berada di gedung belakang, tempat dimana murid-murid biasa menghabiskan waktu mereka untuk membolos. Ale mengeluarkan ponselnya kemudian mendial nomor yang ada di kontak teratas.
"Halo, mas?"
Yang paling Ale butuhkan; suara Mamanya.
"Ma,"
"Iya mama disini, mas. Mas udah pulang? Udah makan siang belum tadi?"
"Belum ma, Ale masih di sekolah. Ale udah makan kok, nggak mungkin telat nanti kalo sakit kan jadi ngerepotin nenek," jawab Ale sambil menendang-nendang batu kerikil demi menyembunyikan rasa kecewanya.
"Mas, ada masalah ya? Ngomong aja mas, mama dengerin." Memang Ale punya Ibu yang paling mengerti dirinya, bahkan tanpa bertatap muka langsung pun sang Ibu sudah paham.
Ale berdeham sebelum lanjut bicara, "Ale gagal ikut olimpiade. Maafin Ale ya ma... serius Ale minta maaf."
"Loh, kenapa minta maaf? Terus kenapa mendadak banget? Mas bukannya udah latihan kemarin-kemarin?"
"Iya, ma, posisi Ale digantiin. Mungkin Ale belum cukup baik. Ale minta maaf ya ma, padahal kalo Ale ikut olimpiade Ale pasti bakal masuk univ yang Ale mau. Ale ngecewain mama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Rush ; kookmin
Fanfictionjungkook & jimin as a college student versi lokal top!jk bot!jm boyxboy | semi-baku, KOOKMIN LOKAL au❗️a bit mature © 2019,bellybees