Adrian Naufal, lahir di Jakarta pada tanggal 1 September 1998. Dia lahir dari keluarga yang berkecukupan dan bisa memberikan dia banyak kasih sayang. Dulunya. Masa kecil Adrian awalnya cukup menyenangkan, tapi itu semua tidak bertahan lama sampai dia memergoki Ayah dan Ibunya yang bertengkar di salah satu ruangan dirumah. Dia masih terlalu kecil untuk mengerti keadaan orang tuanya, karena itulah dia mengira mungkin Ayah dan Ibunya itu sedang bercanda.
Pernah satu kali Adrian melihat Ibunya terjatuh di lantai, dia menangis karena sang Ibu berteriak kesakitan. Dan yang membuat Adrian kecil bingung saat itu adalah; Ayahnya hanya diam memperhatikan mereka berduaㅡtanpa ada rasa perduli sedikitpun dalam dirinya.
Ada banyak hal yang dulu Adrian ingin tanyakan pada sang Ayah. Kenapa di lengan Ibu ada banyak sekali noda biru? Kenapa kadang hidung Ibu mengeluarkan darah saat dia membacakan dongeng sebelum Adrian tidur? Kenapa Ibu sering menangis sambil mengusap kepala Adrian? Dan kenapa Ibu pernah membisikkan "Adrian, kamu anak yang kuat. Ibu sayang sama Adrian, Ibu percaya Adrian bisa bertahan dan menemukan kebahagiaan Adrian sendiri. Doa Ibu selalu menyertai kamu, nak." di malam sebelum Ibunya ditemukan meninggal karena menggantung diri?
Sebenarnya apa yang terjadi?
Kenapa Ibunya pergi disaat Adrian ingin membuatnya bangga karena dia bisa masuk SMP FavoritㅡSMP yang selalu Adrian tunjuk setiap dia melewatinya dari dalam mobil? Kenapa Ibunya pergi disaat Adrian membutuhkannya?
Perlu waktu cukup lama untuk membuat Adrian mengerti kalau ada yang salah dengan keluarganya. Terutama pada Ayahnya.
Sebulan setelah kepergian Ibunya, Ayah membawa wanita baru ke dalam rumah. Wanita itu punya seorang anak perempuan digendongannya. Sejak saat itu, Adrian sering kali tidak diperdulikan. Jika dirinya bertanya terlalu banyak, maka pukulan dari Ayah akan mendarat di wajahnya. Adrian hanya punya Haikal sebagai tempatnya berkeluh kesah dan dia cukup bersyukur akan hal itu. Setidaknya dia tidak melewati semuanya seorang diri.
Tapi ada kalanya dia ingin diperhatikan, ada kalanya dia ingin disayang oleh Ayahnya. Mau bagaimanapun, jika Adrian sudah sendirian, dia akan merasa kesepian juga. Terkadang dia tertawa lebar saat bersama teman-temannya, tapi dia akan kembali menjadi orang paling menyedihkan jika sudah berada di rumah.
Sering kali dia berpikir kalau mungkin Ayahnya akan berubah seiring berjalannya waktu. Mungkin Ayahnya akan perduli padanya walaupun sejujurnya Adrian benci sekali dengan pria itu. Tapi Adrian hanyalah manusia biasa, dia terkadang membutuhkan sosok Ayah dalam hidupnya.
Merokok, bolos sekolah, bertengkar dengan teman seangkatannya, itu semua Adrian lakukan agar sang Ayah bisa memberikannya perhatian. Tapi Adrian sadar kalau dirinya bukanlah anak yang diharapkan untuk lahir ke dunia. Dia hanya seorang anak yang lahir karena tuntutan perjodohan dua keluarga. Apa yang bisa Adrian harapkan? Semua tidak akan pernah berubah. Ayah akan tetap menjadi orang yang keras. Seterusnya akan selalu begitu.
Setiap malam sejak Adrian duduk dibangku SMP, ucapan Ibunya adalah satu-satunya hal yang membuat dirinya merasa punya harapan.
Adrian tersenyum, dia kemudian berlutut untuk menaruh karangan bunga tepat diatas nisan sang Ibu.
"Selamat hari Ibu, Bu. Ini Ian."
"Ian nggak sendiri kali ini, Bu. Ian bawa seseorang." ucap Adrian, suaranya lembut sekali. Dia menarik lelaki mungil yang berdiri dibelakangnya dan menyuruhnya untuk ikut berlutut.
"Ananda Ravalean namanya Bu. Bagus ya?" Yang lebih tua terkekeh, tangannya terulur untuk mencabuti rumput liar yang mulai tumbuh diatas makam Ibunya. "Ale nama pangilannya."
Ale pun tersenyumㅡ seperti menyapa Ibu dari kekasihnya itu.
"Bu, Ale orangnya galak." Satu cubitan mendarat di lengan Adrian. Empunya hanya bisa meringis pelan sambil tertawa.
"Ale emang keliatannya kaya anak kecil, Bu. Tapi empat tahun belakangan ini, Ian banyak belajar dari dia. Pikiran Ale jauh lebih dewasa dibanding Ian, Bu." Mendengar itu, Ale hanya terdiamㅡbingung ingin merespon seperti apa karena kata-kata yang kakak tingkatnya itu ucapkan hanya bisa membuatnya membisu.
"Ibu nggak usah khawatir lagi. Ian udah ketemu bu...-" Adrian menjeda ucapannya, ia menoleh untuk menatap wajah Ale yang terlihat teduh. Lelaki itu kemudian menarik tangan mungil Ale, lalu dia genggam erat dengan miliknya.
"-...ketemu kebahagiaan Ian sendiri."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
once again im so sorry for writing such a sensitive content. aku pikir this part is important so i published it. maaf kalo bisa ngetrigger kalian