highschool #tb 6

5.2K 612 125
                                    


trigger warning⚠️ this part contains abusive parent issue

Bertengkar itu sudah jadi hal umum dalam sebuah hubungan. Terkadang pertengkaran itu bisa menjadi penguat, atau malah berakhir menjadi peruntuh. Hubungan itu tentang dua jiwa yang bersatu karena suatu alasan bernama cinta. Dua jiwa, dua kepala yang pikirannya terkadang bisa berubah seiring waktu mengalahkan rasa cintanya. Itu sebabnya pertengkaran bisa terjadi, dan ada pasangan yang tidak berakhir manis karena mereka mengalami perubahan itu. Artinya pertengkaran mereka itu menjadi peruntuh.

Adrian dan Ale juga begitu. Hubungan mereka berdua hampir diruntuhkan oleh sebuah kata klasik yang tidak Adrian suka sejak kecil. Bertengkar.

"Kamu, kak, dengan kaya gini kakak sama aja nggak percaya sama Ale." ucap Ale kala itu. Wajahnya penuh dengan air mata dan hidungnya memerah karena menangis terlalu banyak. Melihat lelaki di depannya bergetar hebat begitu, Adrian hanya bisa diam di tempatnya. Tidak berniat untuk membalas apapun.

"Kalo emang kakak udah nggak anggep Ale buat jadi tempat pulang lagi, terus buat apa Ale disini?" Ale terkekeh saat berhasil mengucapkan rentetan kata yang berhasil melukainya sampai bagian paling dalam. Dalam hati, Ale tidak percaya kalau dia baru saja mengatakan kalimat yang mungkin akan dia sesali nantinya. Lelaki mungil itu terdengar seperti ingin menyerah pada Adrian.

"Jawab kak.."

Adrian masih mematung di tempatnya. Matanya memerah, dia menahan air matanya agar tidak turun ke wajah. Agar Ale tidak melihatnya lemah.

"I take that as a yes. You want to end this. Oke." ujar Ale final. Dia pun berbalik dan pergi dari lapangan basket dekat sekolahnya, menjauh dari sosok Adrian yang masih terdiam sambil memegangi bola basketnya di tangan. Dalam hati, Ale berharap Adrian akan menahannya untuk pergi walaupun sebenarnya dia kecewa dengan lelaki itu. Setidaknya ada sedikit harapan kalau hubungannya bisa membaik. Tapi ternyata, tidak ada tangan yang menariknya sama sekali bahkan sampai dia pulang. Sepertinya benar, Adrian memang ingin mengakhiri semuanya.

Beberapa hari setelah kejadian itu, Ale merasa fokusnya berkurang saat belajar di kelas. Setiap ada waktu yang pas untuk melamun, dia akan berakhir memikirkan Adrian. Kira-kira Adrian sudah makan belum? Tugasnya di kampus banyak atau enggak? Dia tidur teratur atau enggak? Semua pertanyaan itu terus terputar di kepala Ale seperti kaset rusak.

"Le,"

"Hmm?"

Safhi menoleh, kemudian menunjukkan sesuatu di ponselnya yang berhasil membuat kedua mata Ale membulat sempurna. "Gue sebenernya disuruh rahasiain dari lo... tapi mana tega gue. Dia nanyain lo kok, Le. Dari kemarin-kemarin juga nanyain kabar lo terus, nggak pernah absen."

"Kangen banget gue..."

"Lagian lo kenapa sih mutusin dia?" tanya Safhi sewot. Dia bingung dengan isi kepala sahabatnya itu. "Ih gue bukan mutusin!"

"Terus apa dong? Udah kaya putus lo berdua tuh." Ale mendengus. Safhi memang benar, dan fakta itu benar-benar membuatnya jengkel.

Ale tau kok kalau tidak semua hal yang Adrian alami harus diceritakan ke dirinya. Tapi kali ini Adrian sudah terlalu kelewatan. Dia menyimpan semuanya seorang diri, dan membohongi Ale selama berminggu-minggu.

Dua bulan yang lalu, kaki Adrian tiba-tiba cidera sampai dia harus berhenti bermain basket untuk beberapa saat. Ale tidak menaruh curiga sedikitpun, walau sebenarnya terasa aneh karena Adrian tidak punya turnamen apapun beberapa bulan kebelakang. Ternyata itu bukan cidera karena bermain basket, tapi karena Ayahnya. Kaki Adrian ditendang keras sampai dia tidak bisa berjalan dengan benar. Ale hancur saat itu, saat dia tidak sengaja menguping pembicaraan Adrian dengan Haikal di kosan. Adrian sakit, secara mental dan fisik. Tapi dia malah memilih untuk merahasiakan semuanya dari Ale, padahal mereka sudah hampir dua tahun bersama. Seharusnya tidak ada yang perlu ditutupi-tutupi lagi, tapi sepertinya Adrian berpikir lain.

Sugar Rush ; kookminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang