Rosé mendesah kecewa. Ini memang takdir, ia sudah kembali bersama ketiga sahabatnya, sudah tidak lagi dengan orang yang dicintainya, Lisa. Rosé ingin lebih lama lagi dengan Lisa. Tidak, Rosé harus menepis keinginannya itu, ia tidak ingin menjadi egois.
Kini, ia bersama ketiga sahabatnya sedang asik bermain kartu, namun ditengah permainan mereka---- June dan Donghyuk lapar, kemudian kedua lelaki itu memutuskan untuk membeli makanan dan meninggalkan Rosé bersama Jisoo.
"Kau sudah lapar huh?" tanya Jisoo berusaha memecah keheningan di antara mereka.
Rosé mengangguk sembari tangannya mengusap pelan perutnya. "Sangat lapar. Mengapa mereka berdua lama sekali sih, bodoh."
"Tunggu saja, sebentar juga pasti datang. Dan---- sepertinya kau tampak lesu, bukan karena lapar tapi ada suatu hal yang menjadi beban pikiranmu, apa aku benar?"
"Tidak. Jangan sok tau."
Jisoo menghembuskan napasnya panjang. "Memang yang bisa membaca pikiran hanya kau? Aku juga bisa. Sama sepertimu yang bisa membaca pikiranku, aku juga sebaliknya, aku bisa membaca pikiranmu. Kau sudah berapa lama menjadi sahabatku, jangan berusaha menutupi itu semua, kan aku sudah bilang, terbukalah dengan sahabatmu sendiri."
"Baiklah, aku menyerah, aku memang sedang memikirkan sesuatu."
Jisoo menautkan kedua alisnya. Jisoo penasaran, apa yang sedang Rosé pikirkan? Sampai hal tersebut membuat gadis yang dicintainya itu menjadi lesu. Mungkinkah karena Lisa? Tapi, keduanya baru saja bertemu.
"Lisa?"
Rosé mengangguk cepat. Sejak tadi memang Lisa yang mengusiknya. Rosé tidak ingin menjadi egois, namun sangat sulit untuk tidak memikirkan Lisa. Ah, pasti kekasihnya itu sedang asik bersama Jennie. Satu kali saja, jika Tuhan memberinya kesempatan, Rosé sangat ingin bertukar posisi dengan Jennie.
Menjadi prioritas utama Lisa, mendapat perhatian Lisa, dan tentunya sangat dicintai Lisa. Apakah Rosé mempunyai kesempatan untuk merasakan itu semua? Bahkan, dirinya sendiri tidak kunjung mendapatkan jawabannya.
"Kenapa lagi? Bukankah kau baru saja bertemu dengannya? Seharusnya kau bahagia bukan? Dan kau juga benar-benar menepati janjiku, kondisimu sudah jauh lebih baik. Lalu, sekarang apa lagi, Chaeng?"
"Aku masih merindukannya, rasanya belum puas. Kau tau, seharusnya akulah yang saat ini bersama dengannya, bukan Jennie."
Jisoo diam, ia tidak menjawab. Kalimat Rosé justru membuat moodnya hancur. Bukan, bukan karena Rosé yang mengatakan masih merindukan Lisa, Jisoo tidak masalah dengan kalimat itu, ia juga sama sekali tidak cemburu. Justru yang berhasil membuat mood Jisoo hancur adalah kalimat Rosé yang mengatakan bahwa seharusnya gadis itu yang saat ini bersama Lisa, bukan Jennie.
Seratus persen benar. Memang seharusnya Rosé, bukan Jennie. Tapi dengan bodohnya Lisa menggantikan posisi Rosé dengan Jennie. Sungguh, semakin Jisoo mengingat kelakuan kedua manusia itu, semakin membuat Jisoo benci. Jisoo juga berpikir, keduanya tidak lagi pantas disebut manusia, keduanya lebih pantas disebut iblis.
Kedua iblis yang bersama-sama menghancurkan hati perempuan yang sama sekali tidak bersalah padanya. Bukankah itu benar-benar menyakitkan?
"Aku tidak ingin menjadi egois, sumpah. Tapi---- aku tidak bisa berhenti memikirkannya, aku juga tidak bisa berhenti untuk tidak cemburu pada Jennie, aku iri dengan Jennie. Dapatkah Lisa memperlakukanku seperti dia memperlakukan Jennie?" sambung Rosé.
"Bisakah kau tidak membicarakan kekasihmu itu saat bersamaku? Kau tau, aku muak setiap kali kau membicarakannya, pasti dia selalu memperlakukanmu dengan buruk. Itu justru semakin membuatku membencinya. Bahkan kau sendiri melarangku untuk tidak berpikiran yang buruk tentangnya, lalu bagaimana caranya aku tidak berpikiran yang buruk tentangnya jika ia selalu membuatmu sedih seperti ini, Chaeng? Katakan padaku! Aku perlu jawabanmu."